• Kelindan Hubungan dan Upaya Mendengarkan

    Sumber Gambar: Twitter @_yourgray

    Judul : Pasta Kacang Merah

    Penulis : Durian Sukegawa

    Penerjemah : Asri Pratiwi Wulandari

    Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama

    Terbit : 2022

    Tebal : 240 Halaman

    ISBN : 978-602-665-5078


    Kisah hubungan platonik antara dua atau lebih orang memiliki sisi unik tersendiri. Kisah itu biasanya dijalin oleh lelaki dan perempuan, dengan rentang usia berbeda, yang berkarib, bersahabat, bahkan mungkin hampir menyerupai sepasang kekasih; tapi tanpa tendensi memendam perasaan cinta. Tema-tema semacam ini bisa kita temukan dalam beberapa karya sastra. Di dalam khazanah kesusastraan Jepang, ingatan soal hubungan semacam ini bisa dilihat dari kisah pekerja rumah tangga dan anaknya, dengan seorang profesor matematika penderita penyakit ingatan jangka pendek, dalam novel The Housekeeper and The Professor karya Yoko Ogawa. 

    Novel itu merentangkan momen kedekatan antara dua tokoh utama, bermula dari hubungan berorientasi kau-kulayani-sebab-aku-bekerja-di sini, menjadi hubungan yang terasa menjadi sebuah keluarga. Si perempuan memedulikan sang profesor sebagaimana ia merawat ayahnya sendiri, dan sebaliknya, sang profesor menyayangi si perempuan dan anaknya kendati ingatan tentang mereka akan raib dalam 80 menit ke depan. 

    Di dalam hubungan itu, kepedulian dan kehangatan memainkan peran di antara mereka. Sekat-sekat yang tadinya merentang akibat latar belakang dan identitas seolah raib, dimaklumi keberadaanya, tak menjadi penghalang bagi terbentuknya hubungan tersebut. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tentu ada beragam aspek yang menyokongnya. Hubungan yang baik, sebagaimana kita tahu, kerap ditopang oleh sekian hal: penerimaan, pemahaman, kepedulian, kasih sayang, dan perasaan menganggap diri berharga satu sama lain. Terkhusus dalam hubungan platonik, kendati tak ada tendensi perasaan cinta yang membayangi hubungan itu, sekian hal tadi bisa dipastikan ada. Mereka menjadi penyokong. Mau lihat contoh lainnya?

    Ada novel lain dalam khazanah Negeri Matahari Terbit yang bisa menggambarkan hal tersebut. Namun, kali ini datang dari penulis lainnya, yaitu Durian Sukegawa. Judul novelnya pendek dan mungkin, terdengar datar atau tanpa ada keinginan menyentak pembaca: Pasta Kacang Merah. Itu pemilihan judul yang dianggit penerjemahnya, Asri Pratiwi Wulandari. 

    Kendati pendek dan terkesan datar, tapi judul itu kemungkinan memantik tanya dalam benak pembaca: Cerita macam apa yang dikisahkan pada novel ini? Mengapa diberi judul Pasta Kacang Merah? Apa pentingnya benda itu, dan apa yang disembunyikannya? Satu per satu jawaban dari pertanyaan itu mulai bermunculan sejak paragraf pertama di dalam novel. Kita kemudian tahu, bahwa pasta kacang merah merupakan olesan penting dalam produk manisan khas Jepang, Takoyaki. Makanan itu pula yang dijual sebuah warung kecil yang dikelilingi pohon sakura, Dora Haru. Di warung itulah hubungan platonik yang kita singgung di awal memulai kisahnya. 

    Kalau kita membayangkan sepasang perempuan dan laki-laki saling berhubungan, maka garis besar hubungan dua karakter novel memang seperti itu. Namun, kalau kita membayangkan dua orang itu memiliki usia yang sama, maka hal itu perlu diralat. Sebab, ada rentang usia yang membentang di antara mereka. Tak hanya itu, atribut identitas dan upaya pencairan semangat hidup menjadi elemen lain yang mewarnai hubungan mereka. Di pembacaan awal, kita dikenalkan oleh sosok Sentaro, penjual Takoyaki. Ia mantan narapidana, punya masa lalu kelam, tapi dahulu pernah diselematkan oleh pemiliki pertama warung itu. Dari situlah, ia merasa memiliki utang kepada mendiang pemilik, sehingga mau-mau saja melanjutkan keberlangsungan usaha warung itu. 

    Kesan sosok orang yang gagal, barangkali langsung bisa dilekatkan dalam penggambaran karakter Sentaro ini. Kita mungkin bisa teringat dengan pribadi-pribadi yang menjalani kehidupan separuh hati, menjalaninya semata karena begitulah kehidupannya. Bahwa ia sebetulnya tak menyukai makanan manis dan melihat usaha Takoyaki sebagai hal yang tak menjamin masa depan, itu satu hal. Tapi, hal lainnya, ia dibayangi kewajiban untuk menuntaskan utang itu. 

    Alhasil, keterjebakan atas eksistensi dirinya dialami oleh Sentaro. Jangan tanyakan soal makna kehidupan kepadanya, sebab semangat untuk melanjutkan hari esok saja setengah-setengah. Dari pagi ke sore hari ia berjualan, lalu malamnya mabuk-mabukan; begitulah hari-hari yang selalu dijalani Sentaro. Setidaknya, itulah hari-hari yang dijalaninya sebelum bertemu Tokue. Bagaimana keduanya bertemu?

    Bisa dibilang, pertemuan itu berlangsung lucu. Suatu hari, Tokue mendatangi Dora Haru, dengan kegugupan yang sarat. Tahu-tahu ia menawarkan diri ingin bekerja di sana, walau dengan bayaran kecil atau separuh dari bayaran normal. Melihat itu, tentu Sentaro bisa enteng saja menyanggupi diri untuk memperkerjakan Tokue, tapi ada yang menahan dirinya, membuatnya ragu. 

    Pertama, Tokue sudah berusia lanjut, hampir delapan puluh tahun; rasanya tak elok memperkerjakan seorang yang sudah tua. Kedua, Tokue memiliki tangan yang cacat, kelak kita tahu kalau ia seorang penyintas penyakit lepra; itulah identitas kelam yang dibawanya.  Namun, pada akhirnya ada satu hal yang membuat Sentaro menerima Tokue, yaitu fakta kalau Tokue bisa membuat pasta kacang merah—bahkan perempuan itu sudah lima puluh tahun bertungkus-lumus dengan olahan makanan itu. 

    Ihwal pasta kacang merah ini yang menjadi jembatan dari hubungan karakter-karakter di dalam novel. Tokue menganggap kalau interaksi dengan kacang merah sama seperti kita berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya. 

    Ia percaya segala jenis benda memiliki kata dan bahasanya sendiri. Katanya, “Aku percaya bahwa segala hal yang ada di dunia ini memiliki kata. Apa pun. Kita dapat mendengarkan orang-orang yang lewat di depan toko, tentu saja. Tetapi menurutku kita tidak cuma bisa mendengarkan suara makhluk hidup, melainkan juga suara sinar matahari dan angin (Hal. 159).” 

    Oleh sebab itu, perihal mendengarkan dan pemahaman akan hal-hal di sekitar menjadi upaya yang menghubungkan mereka. Kendati terdengar musykil, tindakan mendengarkan kacang merah saat tengah memasak pasta kacang merah, menjadi mula dari kesadaran untuk mendengarkan dan memahami hal lainnya. Termasuk, soal identitas dan sekian beban serta masa lalu kelam yang dibawa diri setiap karakternya. 

    Maka, seiring interaksi para karakternya, terbukalah beberapa tabir kelam: bahwa Sentaro membawa kenangan buruk sebagai mantan narapidana, bahwa Tokue masih dibayangi masa lalu kelam sebagai seorang penyintas lepra yang sempat dikucilkan oleh masyarakat. Awalnya, tentu ada keterkejutan dalam diri masing-masing. Perihal siapa dan apa saja yang membayangimu merupakan sesuatu yang tak serta-merta bisa diterima begitu saja. 

    Tapi lagi, upaya “mendengarkan” menjadi langkah pertama yang penting untuk dilakukan. Seperti yang dikatakan Tokue saat mengingat apa yang dilakukan kala memperhatikan kacang merah, “Kata yang kupunya untuk menjelaskannya hanya “mendengarkan”, tetapi kurasa kau akan bingung jika aku menjawab begitu. Oleh sebab itu, aku hanya menjawab dengan ambigu. Aku memperhatikan raut kacang merah. Menyimak kata-kata kacang merah. Membayangkan hari hujan atau hari cerah yang telah mereka saksikan. Mendengarkan cerita perjalanan kacang merah sampai mereka tiba di hadapanku.” (Hal. 158) 

    Kesan yang disematkan Tokue atas benda seperti kacang merah, menjadi isyarat bahwa hal itu pulalah yang mesti dilakukan kepada orang lain. Dengan begitu, betapapun kelam atau kacaunya perjalanan hidup setiap orang, asal penerimaan pada akhirnya bisa dicapai, maka sekat yang tadinya membayang akan hilang. 

    Dari situ, akan tercipta hangatnya sebuah hubungan, terlepas apa pun bentuk atau label dari hubungan itu. Ihwal kehangatan itu yang diterakan dalam novel yang tak berpretensi muluk ini. Dengan alur perlahan tanpa ledakan yang menyentak, kelindan tiap karakter atas masa lalu dan tarik-ulur interaksi mereka bisa membawa kita dalam parade efek perasaan hangat dan keharuan. 

    Novel ini tentu tak menawarkan sesuatu yang kompleks, hanya hubungan sederhana di antara karakternya; tapi dalam hubungan yang kita sebut platonik ini, saat sudah tiba di halaman akhir, kita sangat mungkin dibuat merenung: Sudahkah kita mendengarkan orang-orang dengan baik? Apakah kita sudah memahami mereka dan menerima apa-apa yang ada di dalam diri mereka?*


    *Penulis

    Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.


  • You might also like