• Sebesar Harimau-Harimau di Seluruh Dunia Mencair Jadi Mentega



    “Sebesar apa kamu menyukaiku?” 

    “Sebesar harimau-harimau di seluruh dunia mencair jadi mentega.”

    Dialog berisi metafora itu saya kutip dari novel Murakami yang berjudul Norwegian Wood (hal. 479). Pertama kali saya mendengarnya adalah ketika saya sedang berdiskusi dengan kawan saya, Kiki Sulistiyo (penyair) dan Bayu Pratama (cerpenis). Saat itu kami sedang mendiskusikan perihal kelebihan Murakami dalam menulis. Lalu, Kiki dan Bayu sepakat bahwa metafora merupakan salah satu kelebihan Murakami. Karenanya, dialog antara Midori dan Watanabe itu muncul dalam diskusi kami. 

    Menjadi satu-satunya yang belum membaca karya-karya Murakami, saya katakan metafora itu berlebihan. Alih-alih metafora, ungkapan itu terasa seperti hiperbola yang kelewat ngawurnya. Pendapat itu muncul sebelum saya membaca Norwegian Wood. Saya berpendapat demikian dikarenakan latar belakang pendidikan saya adalah linguistik, yang mana membuat saya selalu mengurai teks menggunakan teori-teori kebahasaan yang saya pahami. Karena itu saya merasa metafora itu kurang berterima sebagai ekspresi linguistik.

    Metafora Sebagai Fenomena Kognitif

    Metafora pada mulanya dikenal sebagai fenomena bahasa. Namun, sejak Metaphor We Live By dipublikasikan pada tahun 1980, metafora tidak lagi dipandang semata fenomena bahasa, tetapi juga fenomena kognitif. George Lakoff dan Mark Johnson menata ulang pemahaman kita tentang metafora: manusia berpikir dengan menggunakan metafora, dan metafora hadir dalam keseharian manusia. Ketika seseorang berupaya memahami suatu konsep yang abstrak, dia akan merujuk pada pengalaman konkret hidupnya. 

    Kita ambil contoh kata hidup. Hidup di hampir semua kebudayaan dipahami lewat konsep perjalanan. Manusia memahami konsep abstrak tentang kehidupan lewat pengalaman mereka dalam melakukan perjalanan. Karenanya lahir ungkapan “dia telah tiba di akhir perjalanannya” yang kerap muncul ketika seseorang baru saja meninggal. Dan ungkapan ini dipakai hampir di seluruh bahasa dunia. 

    Selain sebagai upaya memahami sesuatu yang abstrak, metafora juga digunakan untuk memahami fenomena baru atau sesuatu yang belum pernah dikenal sebelumnya. Kita ambil contoh  virus. Ketika virus pertama kali ditemukan, kita tidak tahu virus itu apa. Kita tidak tahu bagaimana mendefinisikannya, dan apa yang sebaiknya kita lakukan terhadapnya. Lalu kita memiliki pengalaman atas apa yang virus perbuat pada tubuh kita. Pengalaman itu kemudian akan terhubung dengan pengalaman lain yang menghasilkan apa yang dalam sains kognitif disebut tembakan neuron. 

    Hal ini kemudian membantu kita memahami virus hingga lahir ungkapan-ungkapan sebagai berikut: virus menyerang tubuhnya; daya tahan tubuhnya kalah, dan dia jadi sakit; kita harus berdamai dengan korona. Leksikon serang, kalah, dan damai adalah leksikon yang umumnya digunakan pada situasi perang. Berkat pengalaman kolektif yang menyakitkan ketika berperang, manusia memahami apa yang terjadi ketika virus menyerang tubuhnya.

    Sebagai konsep, hidup adalah perjalanan dan virus adalah musuh, dapat diterima. Karenanya, keduanya muncul dalam komunikasi sehari-hari. Namun, dalam sastra, berterima saja tidak cukup, metafora harus baru, dan oleh karena itu, metafora yang muncul dalam sastra sering kali terasa berlebihan.

    Metafora dalam Sastra

    Satu hal yang saya sepakati perihal penggunaan metafora dalam sastra adalah menciptakan metafora yang baru dan belum pernah didengar sebelumnya. Hal ini akan membuat teks yang kita produksi terasa segar. Akan tetapi, dalam menciptakan metafora, tentu saja kita tidak boleh melupakan rumusnya: dua hal yang diperbandingkan itu harus memiliki kesamaan konseptual. Metafora memerlukan dua ranah yang diperbandingkan, yakni ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber biasanya adalah bentuk konkret dari bentuk abstrak yang coba dideskripsikan. 

    Mengambil contoh metafora Murakami tadi, ranah sasarannya adalah perasaan suka. Perasaan suka merupakan sesuatu yang abstrak: kita tidak pernah bisa melihat perasaan suka kecuali ditunjukkan lewat sesuatu yang konkret. Sedang ranah sumbernya adalah sesuatu yang konkret, yakni harimau-harimau di seluruh dunia mencair jadi mentega. 

    Tapi apakah benar harimau jika mencair berubah menjadi mentega? Tentu saja tidak.  Harimau mencair jadi mentega tidak terjadi dalam realitas kita. Sukar untuk membayangkan seluruh harimau di dunia mencair jadi mentega karena peristiwa itu memang tidak pernah ada dalam pengalaman konkret manusia. 

    Lalu apakah metafora itu baru?

    Ya, saya bisa katakan metafora itu baru. Tidak ada seorang pun selain Murakami pernah menggunakan metafora itu dalam mengungkapkan perasaan suka. Setahu saya begitu. Akan tetapi, meski baru, metafora itu terasa sukar untuk diterima. Setidaknya oleh saya ketika pertama kali mendengarnya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya apa yang membuat Murakami memproduksi metafora yang sukar diterima itu? 

    Apakah ranah sasaran dari metafora itu (seluruh harimau di dunia mencair menjadi mentega) juga adalah sebuah ungkapan metaforis? Lantas jika itu benar ungkapan metaforis—ungkapan metaforis itu merujuk ke peristiwa apa? Mungkinkah di kepala Murakami ada kesaman sifat antara harimau dan mentega sehingga ia membayangkan harimau bisa mencair seperti mentega dalam wajan? 

    Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi kepala saya. Dan saya kesulitan untuk menjawabnya. Karenanya, saya heran mengapa kedua kawan saya yang bisa dibilang penyair dan pengarang yang kompeten dalam bidangnya bisa menerima metafora yang digunakan Murakami ini dan menyebutnya sebagai metafora yang segar. Hal ini memantik saya untuk membaca Norwegian Wood. 

    Ketika saya membaca Norwegian Wood, herannya perasaan ganjil saat saya mendengarkan ungkapan metaforis itu pertama kali tidak lagi terasa. Metafora itu normal saja dan berterima. Kesegaran metafora itu membuat saya sampai terkagum-kagum kepada Murakami. Bagaimana cara Murakami membuat sesuatu yang sebelumnya tidak berterima menjadi berterima? Saya mencoba merenungkan ini sampai akhirnya saya menyadari bahwa itu disebabkan oleh kejeniusan Murakami dalam membangun dunia fiksionalnya.

    Murakami membuat karakter Watanabe sangat ganjil. Dia berbeda dari kebanyakan tokoh dalam novel itu; cara dia bergaul, cara dia berkomunikasi, cara dia merespons realitas, dan itu semua membuat apa yang dikatakannya—yang seringkali aneh itu—terasa normal. Saking seringnya dia mengucapkan kata-kata yang melampaui realitas hingga apa yang dikatakannya pun terasa normal saja. 

    Belum lagi cara Murakami menggerakkan plot yang membuat hubungan Midori dan Watanabe yang di satu sisi ingin bersama, tetapi di sisi lain tidak bisa bersama, seolah-olah mereka adalah dua kutub magnet yang sama hingga setiap mendekat, mereka didorong untuk kembali berjauhan. Lalu ketika akhirnya mereka punya kesempatan untuk bersama, Midori menanyakan Watanabe bagaimana perasaan Watanabe terhadapnya. Lalu lahirlah ungkapan metaforis itu. Rasanya tidak ada ungkapan yang lebih pas untuk Watanabe ucapkan ketika menjawab pertanyaan Midori. Romantis sekali bukan? 

    Ya, ungkapan metaforis itu memang romantis. Saya jadi ingin mencobanya kepada istri saya. Tetapi ketika saya mengatakannya kepada istri saya, alih-alih berpikir bahwa apa yang saya katakan romantis, istri saya malah bertanya: kamu sedang ngomong apa?*


    *Penulis

    Aliurridha, penulis dan pengajar di Universitas Terbuka. Ia menulis esai, opini, puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon.

  • You might also like