• Membicarakan Gus Dur: Pemimpin Yang Gemar Membaca & Anti Terhadap Kekerasan



    Greg Barton menulis sebuah buku biografi politik penting tentang Gus Dur. Ada satu hal yang menarik dan juga menyenangkan bagi Greg dalam menyusun buku biografi tersebut. Greg, selaku penulis memiliki kesempatan langsung untuk bertemu Gus Dur dalam mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan dan terkait dengan kepenulisan bukunya. 

    Bahkan, Greg juga mengatakan bahwa dia sering diajak oleh Gus Dur saat berpergian keliling Indonesia dan juga beberapa kali ke luar negeri. Oleh karena itu, Greg dapat leluasa mengamati Gus Dur secara langsung dalam kesehariannya.

    Dalam bukunya itu, Greg dapat dengan baik dan detail dalam menjelaskan sosok Gus Dur. Dimulai dari latar belakang keluarga hingga latar belakang pendidikan Gus Dur sejak masih kecil hingga masa perkuliahannya. Selain itu, dari buku tersebut penulis dapat memahami pula peran Gus Dur dalam gerakan reformasi 1998. 

    Pada masa reformasi 1998, Gus Dur merupakan salah satu kunci dan penting bersama Amien Rais dan Megawati. Mereka bersatu dengan mahasiswa dan elemen sipil lainnya untuk melawan dan menjatuhkan rezim otoriterianisme Orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun lamanya. 

    Sosok Gus Dur bagi masyarakat Indonesia tentu memiliki keunikan tersendiri sebagai salah satu presiden yang pernah memimpin negeri ini. Selain dikenal sebagai pemimpin yang cerdas dan visioner, ia memiliki selera humor yang baik dan juga pandai dalam melemparkan lelucon atau pernyataan lucu ke orang lain. 

    Dalam buku biografi tersebut, penulis setidak-tidaknya menyoroti Gus Dur dalam dua hal. Kedua hal tersebut sepertinya selalu identik dan melekat pada diri Gus Dur. Pertama, Gus Dur dan buku. Tampaknya, buku telah menjadi kawan baik untuk Gus Dur selama masa hidupnya. 

    Kedua, Gus Dur merupakan seorang tokoh yang anti terhadap kekerasan. Baginya, kekerasan tak akan pernah menyelesaikan masalah. Kedua hal tersebut akan dijelaskan secara rinci pada bagian selanjutnya. 


    Gus Dur dan Buku 

    Seperti yang dikatakan sebelumnya, Gus Dur adalah orang yang memiliki hobi membaca. Kebiasaan itu dibentuk sejak dia kecil dalam lingkungan keluarganya. Wahid Hasyim, ayah dari Gus Dur memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk membaca apapun yang mereka sukai, setelahnya mereka akan mendiskusikan buku-buku atau ide-ide secara terbuka. Setelah Wahid Hasyim meninggal, kebiasaan itu kembali dilanjutkan oleh sang istri, Solichah. 

    Solichah terus mendorong anak-anaknya, termasuk Gus Dur agar tetap memelihara perdebatan yang aktif mengenai masalah-masalah sosial. Selain itu, ia juga mengajak anak-anaknya untuk membaca surat kabar dan buku-buku yang berserakan di rumahnya. Pada tahap inilah, Gus Dur semakin lahap dan gemar dalam membaca buku. Gus Dur selalu membawa bukunya ke mana saja dia pergi. Jika ia ingin membaca sesuatu yang tak dapatkan ditemukan di rumanya, maka ia akan pergi dan mencarinya ke toko buku di Jakarta. Hal itu dilakukan untuk memenuhi dan memuaskan rasa ingin tahunya yang tinggi. 

    Atas kebiasaan yang dipupuk sejak kecil oleh kedua orang tuanya, Gus Dur tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan berwawasan luas. Pada masa remaja, ia tertarik membaca mengenai Perang Dunia II. Tak hanya itu, ia juga menyukai membaca biografi presiden-presiden Amerika Serikat. Gus Dur mengaggumi presiden Franklin D. Roosevelt. 

    Disamping itu, Gus Dur juga membaca buku-buku filsafat melalui tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Selain itu, ia juga membaca Das Kapital karya Karl Marx, seorang pemikir yang  berpengaruh di dunia. Pengetahuan Gus Dur semakin luas dan tajam ketika ia melanjutkan pendidikannya di Kairo, Mesir. 

    Kairo menjadi tempat yang sangat menyenangkan bagi Gus Dur untuk melakukan petualangan dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya. Salah satu perpustakaan yang sering dikunjungi olehnya adalah perpustakaan Universitas Amerika. Perpustakaan itu adalah perpustakaan paling megah yang pernah dilihat olehnya. Sesibuk atau sepadat apapun aktivitas Gus Dur sebagai mahasiswa, ia selalu meluangkan waktunya untuk membaca. 

    Di Kairo, Gus Dur sering terlibat diskusi dengan mahasiswa lainnya yang biasanya terjadi di kedai-kedai kopi. Kedai kopi merupakan salah satu tempat bagi Gus Dur untuk memperluas pengetahuannya dan melatih kemampuan berbahasa Arabnya. Bahkan diakui sendiri olehnya, bahwa ia lebih banyak belajar di kedai kopi dibandingkan saat di kelas.

    Namun, ada satu kejadian yang paling berat dan pahit bagi Gus Dur dalam hidupnya ketika ia harus kehilangan penglihatannya akibat penyakit diabetes dan glukoma. Ketika ia berusia 50 tahun, glukomanya telah menutupi pandangan di tepi matanya. Hal ini tentu berat sekali bagi dirinya yang memiliki hobi membaca. 


    Memperjuangkan Demokrasi dan Anti-Kekerasan

    Gus Dur adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan demokrasi dan reformasi pada masa Orba. Komitmen Gus Dur terhadap demokrasi diperlihatkan olehnya dengan mendirikan Fordem (Forum Demokrasi). Fordem didirikan oleh Gus Dur dan beberapa kawannya, seperti Marsillam Simanjuntak pada 1991. Disamping menyebarkan nilai-nilai demokrasi, Fordem juga bertujuan untuk mengimbangi gerakan politik sektarianisme yang tumbuh pada waktu itu. 

    Bagi Gus Dur, menguatnya kekuatan sektarianisme di masyarakat akan membahayakan persatuan bangsa dan juga menghambat untuk mewujudkan pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektarianisme dapat menimbulkan kebencian dan kekerasan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Oleh sebab itu, Gus Dur khawatir terhadap hal tersebut. 

    Keberadaan Fordem semakin populer di masyarakat dan semakin sering pula dimuat oleh media massa. Akan tetapi, popularitas Fordem juga menarik “perhatian” kelompok penguasa untuk melakukan pengawasan terhadap organisasi tersebut. 

    Terdapat tindakan yang dilakukan oleh kelompok penguasa seperti membubarkan pertemuan atau diskusi dengan dalih acara tersebut tidak memiliki izin. Bahkan, Menkopolkam yang saat itu dijabat oleh Sudomo menytakan bahwa dirinya ditugaskan oleh Soeharto untuk memantau segala kegiatan yang dilakukan oleh Fordem. 

    Pada tahun 1990-an, kekerasan sektarian yang dikhawatirkan oleh Gus Dur sering terjadi dengan pola-pola serupa. Misal, di Jawa Timur dan Sumatra Utara terjadi penyerangan dan pembakaran gereja-gereja yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Setelah kejadian itu, Gus Dur dipercayai oleh beberapa perwira militer untuk membantu  menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebenarnya, pada masa-masa itu, ia sering menjadi perantara untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. 

    Setiap kali ada konflik berbasis sektarian, Gus Dur selalu menyelesaikannya dengan mengedepankan dialog. Baginya, dialog adalah cara terbaik untuk menyelesaikan konflik. Selain itu, ia juga menyarankan untuk membangun relasi dan kepercayaan antarkelompok yang baik. 

    Menyelesaikan masalah dengan dialog terbuka semacam itu terus dijaga oleh Gus Dur sampai menjadi presiden. Hal ini dibuktikan oleh Gus Dur bagaimana ia mencoba menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua dengan cara perdamaian yang juga membuat hubungannya dengan pihak militer renggang. Gus Dur, seorang tokoh yang menciptakan perdamaian dengan tindakan nyata, bukan sekadar dengan jargon-jargon politis semata.


    Penulis

     Arman Ramadhan, mahasiswa IISIP Jakarta

  • You might also like