“Ombak memukul ombak, karang-karang berguguran.”
-Terjemahan bebas peribahasa Uab Meto-Timor
1
Tanggal 5 September 2000, satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-38, jasad Komandan Laksaur, Olivio Mendonça Moruk ditemukan di Betun, dekat perbatasan antara Timor Barat dan Timor Timur (sekarang Timor Leste). Tubuhnya tidak utuh lagi. Terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Kepalanya di satu tempat, jantungnya dikeluarkan, kakinya di tempat lain. Garam ditaburi di potongan tubuhnya. Ia dipercaya pernah mati berkali-kali. Hanya garam yang akan menetralkan mantra dan membuat tubuhnya tidak menyatu kembali.
Laksaur adalah salah satu milisi pro-Indonesia. Ada sedikitnya empat belas kelompok milisi, dengan anggota sedikitnya 500 orang. Bersenjata. Mungkin yang paling diingat dari tokoh milisi adalah Eurico Guterres. Kelompok milisi ini sangat disegani menjelang jajak pendapat di Timor Timur. Sebelum ditemukan, Olivio Mendonça Moruk telah disebut-sebut sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Beberapa hari sesudah tubuh Olivio Mendonça Moruk ditemukan, kantor UNHCR di kota Atambua-Belu, diserang oleh kurang lebih 1000 orang milisi pro-Indonesia. Tiga orang pegawai UNHCR dibunuh. Tiga orang milisi dibunuh.
Di masa itu, cerita seperti ini tidak pernah utuh kita terima. Kehadirannya hanya samar-samar. Seperti bayang. Seperti suara jangkrik di musim kemarau. Terlebih bagi saya yang berdomisili di Kupang. Di balik nyamannya meja universitas.
Beberapa tahun sesudah kejadian itu, Rosindus JM Tae, Pr, menerbitkan buku cerita pendek yang berjudul Mendaur Badai Menepis Resah. Lewat buku itu ia menceritakan kembali kisah-kisah yang terjadi di Timor. Membacanya, saya bisa melihat kota Atambua. Panasnya matahari. Dinginnya sel penjara. Bau hangus tiga pegawai PBB yang dibakar di lapangan kota.
Telah bertahun-tahun sejak kejadian itu. Kejadian mengerikan, dan sebuah kumpulan cerita pendek sebagai laporannya. Saya telah berhenti mengajar. Tinggal di rumah. Dan seperti yang selalu dibilang oleh Arsen, cucu saya yang nakal: Opa tinggal menunggu mati. Haha. Begitulah hidup.
Sambil menunggu mati, kadang-kadang cerita kekejaman lewat cerita pendek itu hadir kembali. Melintas begitu saja di pikiran yang tua ini. Apa yang terjadi kepada Atambua hari ini? Bagaimana kabar Rosindus JM Tae, Pr, sang penulis itu? Apakah ia masih menulis? Saya masih sering membaca tulisan kawan saya, seorang sastrawan, Maria Matildis Banda. Usman D. Ganggang sudah jarang menulis. Marcel Robot masih menulis dengan baik. Gerson Poyk telah meninggal. Piter Rohi juga telah meninggal. Orang-orang yang bisa meramu cerita-cerita menakutkan maupun menyenangkan di Timor dan NTT, menjadi indah. Menjadi subtil saat dibaca. Cerita yang mengalir di dada dengan baik.
Sehingga saya menerima buku ini dengan sukacita. Kode Etik Laki-Laki Simpanan.
Saya membacanya hanya dalam waktu dua hari. Untuk tidak menunda minum obat, saya makan sambil membacanya. Saya senang ada orang NTT yang menerbitkan lagi cerita pendek. Maaf jika saya tidak mengikuti perkembangan cerita pendek di NTT sejak saya pensiun. Menurut kabar yang saya dengar, anak-anak muda di NTT banyak yang mulai menulis. Dan suka menerbitkannya di Jawa. Perkembangan yang bagus sekaligus tidak bagus. Bagus sebab mereka akan terkenal. Tidak bagus sebab untuk menjadi cerita yang bisa dibaca seluruh orang Indonesia, mereka harus berusaha menjelaskan Timor dan NTT dengan bahasa orang Indonesia (baca: Jawa, Jakarta). Dan mereka akan kehilangan rasa bahasa Nusa Tenggara Timur-nya. Flobamora.
Itu kenapa saya dan teman-teman saya dulu lebih memilih untuk menerbitkan cerita kami di Nusa Indah, atau di majalah-majalah yang beredar di NTT saja.
2
Saya bertanya kepada Feliz, Eman, dan Kondrad, tiga anak muda yang mengantar kumpulan cerita ini kepada saya. Apakah cerita-cerita ini pernah ada di majalah atau koran?
Mereka berkata tidak. Cerita-cerita ini belum pernah terbit di koran. Saya hanya perlu membaca dan memberikan pendapat.
Apa pendapat saya?
Saat mulai membaca, saya sering melompat-lompat paragraf. Pikirannya tajam, analisanya bagus dan mendalam, tetapi penuh kecurigaan dan bumbu-bumbu percintaan. Tokoh utamanya juga jujur dalam menceritakan pandangannya, ceplas-ceplos, baik itu menyayangi Yesus maupun berahi kepada perempuan. Atau hal-hal patriarkis lain. Dan ia menyilakan kita untuk tidak menyukainya. Untuk meloncati paragraf.
Namun saya ingat pada kata-kata Valuseire, penyair Jerman yang hidup di abad 12: Apa yang kau benci dari bukuku, Sayangku?/Periksalah kembali dan aku akan memberimu/bunga.
Ia mengajak saya untuk memeriksa kembali apa yang membuat saya melompati paragraf-paragraf.
3
Kebencian. Demikian saya menangkap isi buku ini.
Tokoh utama dalam cerita Kode Etik Laki-Laki Simpanan membenci setiap hal yang dekat dengannya. Lewat cerita kesehariannya, baik saat ia kuliah, kerja, berkarya sebagai penyair, sangat kelihatan bagaimana ia berusaha menolak diri. Mencelakakan diri. Mencelakakan orang lain. Itu semua adalah bentuk-bentuk penolakan kepada dirinya sendiri.
Saya merasa ia membenci dirinya sendiri. Saya berharap tokoh ini tidak nyata. Meski anak-anak muda itu berkata tokoh ini nyata. Tinggal di sebuah kampung di perbatasan Oekusi.
Tetapi bahasanya terlalu segar, saya berkata. Jika usianya 38 tahun seperti yang mereka bilang, saya akan segera mengenali bahasanya. Ia tidak jauh dari angkatan saya.
Ia mewarisi tindak tutur natoni dalam tradisi Uab Meto yang sangat perlokusif. Tetapi terlalu banyak kalimat-kalimat dari khazanah dongeng Timor yang asertif.
Ia tidak hanya membenci dirinya, tetapi ia mengajak orang lain untuk membenci ceritanya. Maka saya bilang, buku ini adalah karya sastra yang akan dibenci oleh pembacanya. Tetapi pembaca yang jujur akan menemukan dirinya dalam beberapa baris paragraf. Itu bisa saja menjadi jawaban jika ia bertanya: Mengapa aku membenci buku ini? Apakah ada aku yang bercerita kepadaku?
4
Saya ingin menulis lebih banyak tentang kisah-kisah di dalam buku ini. Tetapi saya menyarankan anda semua untuk membacanya. Saya bertanya kepada tiga anak muda itu (Feliz, Eman, Kondrad), apakah tulisan saya akan dibaca oleh orang di luar NTT. Mereka bilang mungkin.
Mungkin saya tidak akan terus hidup untuk melihat penulis-penulis muda ini. Teruslah membaca dan menulis. Itu pesan saya. Rayakan masa muda. Rayakan hidup.*
Penulis
Agustinus Wawor adalah mantan pengajar dan guru besar di Universitas Timor Barat.