Pernahkah anda membayangkan sebuah Universitas–atau pendidikan tinggi secara umum–dapat mengalami kematian yang mengenaskan?
Bila anda tidak pernah membayangkannya, entah karena itu dianggap mustahil ataukah definisi mengenai “kematian” itu berlebihan, maka mungkin buku berjudul Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi karya Peter Fleming kiranya tepat untuk memberikan sekilas bayangan terkait itu. Tentang bagaimana sebuah lembaga yang selalu melahirkan jutaan sarjana, berdiri di atas prinsip manajemen ketat, dan meraup pendanaan dari berbagai sisi akan mengalami sakit kronis berujung koit.
Buku ini terdiri dari sepuluh bab dengan kombinasi beberapa disiplin ilmu sebagai pisau analisisnya, yang merentang dari manajemen, sosiologi organisasi sampai psikologi. Peter Fleming turut pula menyajikan berbagai peristiwa, ilustrasi dan kasus empirik untuk memberi penggambaran menyeluruh. Negara seperti Amerika Serikat, UK, Australia dan Selandia Baru kerap dirujuk olehnya.
Buku tersebut tidak hanya berisi kritikan Fleming terhadap Universitas yang penuh dengan penghambaan pada metrik sebagai akibat dari Neoliberalisme yang nantinya juga berefek ekstrem pada kondisi psikologis para pengajar dan mahasiswanya.
Neoliberalisme Selaku Biang kerok
Sebagai sebuah sistem yang telah berjalan semenjak tahun 1980-an, Neoliberalisme diyakini telah masuk ke hampir seluruh lini kehidupan masyarakat manusia, tidak terkeceuali sektor Pendidikan Tinggi.
Fleming melacak kehadiran Neoliberalisme telah mengakar di Institusi ini selama 35 Tahun lamanya, paling tidak di negara maju. Keberadaannya bisa dirasakan ketika Universitas yang semula merupakan tempat bergumulnya para intelektual yang bekerja atas nama kesejahteraan umat, semangat memperbaiki kehidupan di bumi, dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan beralih menjadi korporasi bernuansa kapitalis penghamba metrik ketat, pola kerja menyiksa, dan hierarki manajemen yang otoriter.
Fleming kemudian menamai kondisi semacam ini sebagai Edu-Factory. Selain menciptakan kondisi yang serba dikomersialiasi, baik itu komodifiikasi pengetahuan sampai usaha menciptakan buruh terampil yang sesuai pasar kerja.
Yang khas dari Edu-Factory juga adalah penggunaan metrik. Selayaknya korporasi bisnis, capaian kerja dan keberhasilan selalu saja diukur lalu disimak melalui angka. Hal tersebut memang dirasa tepat sebab memberikan kesan objektif dan memudahkan penilaian dari pihak luar.
Tetapi, Fleming melihat metrik sebagai sesuatu yang berbahaya. Ia merasa akademisi hanya terfokus pada peningkatan kuantitas, bukan kualitas. Contohnya dalam ranah riset.
Semakin banyak akademisi menerbitkan artikelnya di jurnal top, peluang mendapatkan pendanaan semakin besar. Harapannya dengan pendanaan itu akademisi dapat meningkat produktivitasnya dalam meriset, namun kenyataannya riset yang keluar justru hanya menghasilkan banyak artikel substandar, yang tidak mementingkan isi, dengan risiko tinggi penyalahgunaan data.
Untuk menyukseskan tujuan dari Edu-Factory sendiri, Universitas kemudian merestrukturarisasi setiap komponen yang ada di dalam, utamanya gaya berorganisasi dan komposisi pekerja. Penyelidikan Fleming menemukan bahwa staf dan pejabat di tingkat atas justru berlatarbelakang militer dan pebisnis, alih-alih peneliti dan pengajar atau mereka yang konsen pada isu pendidikan.
Bentuk paling ekstrem yang Fleming kemukakan sebagai efek neoliberalisme adalah ketika Edu-Factory mencoba berkolaborasi dengan dunia bisnis dengan dalih “berdampak” pada khalayak. Tentu, bukan dampak positif seperti penuntasan kemiskinan atau usaha menemukan obat HIV/Aids yang dimaksud. Melainkan, dampak destruktif seperti penciptaan mesin perang, bom, dan amunisi yang digunakan pada konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Aneh, tapi itulah kenyataan, hasil suguhan neoliberalisme.
Kematian Diri, Lalu Institusi
Dengan pra-kondisi seperti di atas, Fleming menyelidiki konsekuensi apa saja yang beredar di kalangan civitas akademika—utamanya dosen dan mahasiswa. Dan, voila! Semua itu berujung pada gangguan psikologis parah, mengakibatkan stress, alienasi dan bahkan bunuh diri.
Universitas ala Neoliberalisme membawa suasana individualisme begitu kuat, hal ini disebabkan beban kerja yang eksploitatif dan kerapkali tidak terlalu esensial. Waktu untuk sekadar membagi energi sosial antar sesama sejawat pun minim. Belum lagi budaya kerja kompetitif—yang penyebabnya bisa diterawang dari penggunaan metrik—turut menambah tekanan pada diri Individu.
Kondisi sosial yang begitu mengalienasi itulah menjadi titik mula akademisi dan mahasiswa bahkan nekat mengambil tindakan mengakhiri hidupnya sendiri. Kasus almarhum Gregory Eells (52 Tahun) dan Malcolm Anderson (48 Tahun) adalah dua dari sekian contoh dibahas Fleming dalam bukunya.
Bekerja sebagai direktur eksekutif layanan konseling dan psikologis di Universitas Pennsylvania bukan berarti ia kebal dari masalah psikologis. Almarhum melompat dari gedung tinggi di pusat kota pada September 2019. Kerjaan penuh tuntutan ditengarai menjadi penyebabnya.
Setahun sebelum Eells, Malcolm Anderson dosen akuntansi di Universitas Cardiff melompat dari jendela kantornya. Di hari kematiannya itu, ia menanggung beban kerja mengajar 600 mahasiswa dan mesti menilai 418 hasil ujian.
Menengok Kondisi di Indonesia
Universitas di Indonesia memang belum sampai pada ihwal final Neoliberalisasi. Namun, tidak lama lagi bakal mencapai titik tersebut.
Salah satu langkah paling nampak adalah kepaduan erat sektor pendidikan tinggi dan dunia bisnis yang dibungkus melalui narasi “Kampus Merdeka”. Kehadiran aturan semacam PTNBH juga turut memuluskan jalan Universitas menuju “mimpi indah Neoliberalisme”.
Kita mungkin akan menyaksikan kematian Universitas secara langsung. Apakah kita bisa mengantisipasi kematian itu nantinya? Kita perlu merelakan kematian tragis ini! Dan, apabila ia mati, bagaimana kita menguburnya? Saran saya sih, kita kubur saja ia secara massal bersama institusi lain yang telah kehilangan hakikat outentiknya akibat neoliberalisme.*
*Penulis
Muh. Akbar, Mahasiswa Sosiologi di Kampus Merah Tamalanrea. Kerap melingkar di Hari Rabu (sore) bersama Kolektif Aporia.