Cerita-cerita dalam buku kumpulan cerita pendek karya Ramayda Akmal berjudul Aliansi Monyet Putih (Gramedia Pustaka Utama, 2022) menyuguhkan sentuhan dingin yang menyengat perlahan. Narasi kehidupan imigran di dalamnya tidak disampaikan dengan nada menggebu-gebu atau mengharubiru. Pengucilan, kemiskinan, perbudakan, kekerasan, kegelisahan eksistensial, kesedihan, saling jalin-menjalin dengan memposisikan sebagian besar narator sebagai pengamat.
Narator tidak berupaya menggiring pembaca untuk berpihak kepada salah satu kubu. Pemilihan gaya bercerita seperti ini menyediakan bilik-bilik bagi pembaca yang bisa leluasa diisi dengan berbagai bentuk tanggapan entah itu merasa ikut miris dengan kegetiran para tokohnya, atau menyingkir sejenak memandang dari jauh sambil meraba berbagai tanda yang menyeruak dari rimbun kisah sang tokoh.
Merasa miris, merasa takjub, dan berbagai kesan yang hadir kemudian juga timbul sebab melayari hal-hal pahit dalam sebelas cerita pendek dalam buku ini tidak semata berhenti di bentangan segala yang celaka nan nahas itu. Ada pantulan lanskap lain yang muncul misalnya bila kita membaca cerita pendek Tuan yang Paling Mulia, pembaca luar yang belum pernah tinggal di Jerman dapat mengetahui kebijakan di negara itu tentang hewan peliharaan milik para gelandangan yang lebih diberi perlakuan manusiawi dibandingkan manusia yang memelihara hewan itu sendiri. Sang tokoh utama bahkan memanggil anjing peliharaannya dengan sebutan “Tuan”.
Dalam cerpen Jalan Menuju Rumah, ada kegiatan amal berupa saling berbagi kisah antara para imigran dengan organisasi sosial. Ternyata kegiatannya berdampingan dengan organisasi sosial yang membagikan narkoba secara gratis kepada para gelandangan yang kecanduan untuk menghindari overdosis. Dua informasi dari dua cerpen itu saja sudah membuat saya tercengang sebab hal itu baru pertama kali saya dengar. Pantulan lanskap lain berupa keadaan sebuah negara, model aturan yang ditetapkan pemerintah setempat, sosio-kultural masyarakatnya, tersebar merata dalam buku ini sehingga menambah pengetahuan baru bagi pembaca.
Menelusuri kisah imigran dari kalangan mahasiswa maupun buruh dalam buku ini membuat saya membandingkan dengan buku-buku fiksi bertema serupa yang pernah saya baca. Saya menemukan hal menarik bahwa dalam Aliansi Monyet Putih, sudut pandang yang digunakan tidak hanya dari warga negara asal penulis (Indonesia), tapi juga menggunakan sudut pandang dari warga negara belahan dunia lainnya, di antaranya tampak dalam cerpen Lelaki yang Melempar Koin; Jalan Menuju Rumah; Lelaki yang Menabur Rempah; Pada Suatu Hari, Ombak, dan Camar; Tuan yang Paling Mulia. Dari sudut pandang warga negara Indonesia sendiri bisa kita temukan di Kunci Kecilnya Sudah Hilang, Bayi Cokelat, Aliansi Monyet Putih.
Cerpen-cerpen dalam buku ini secara garis besar memperlihatkan bagaimana seseorang atau kelompok berupaya mengatasi peliknya membangun suatu identitas diri yang baru di tempat yang bukan milik mereka. Di tempat di mana mereka harus rela berada di pinggir, menjadi tak terlihat, atau berlaku patuh dengan membawa nestapa di sepatunya. Memberati setiap langkah yang telah telanjur tertatih-tatih. Ingatan terhadap kampung halaman boleh jadi hadir sebagai yang menyepuh kekelabuan dalam benak. Bisa juga dalam pecahan-pecahan yang hanya sejenak ditengok untuk kemudian tergantikan dengan yang tampak lebih gemilang dalam sekali pandang, namun ternyata di baliknya terhampar suatu upaya mati-matian demi apa yang kita sebut sebagai “individu baru”.
Dua perbandingan terakhir tersebut sedikit-banyak tercermin pada dua cerita pendek dalam buku ini yang berjudul Kunci Kecilnya Sudah Hilang dan Aliansi Monyet Putih. Dua cerpen ini bisa saya katakan sebagai dua cerpen paling utuh dalam buku ini yang juga merangkum kompleksitas sengit. Baik apa yang memanggil dari negeri asal dan apa yang saban hari mengguyur di negeri rantau saling memencarkan tanda-tanda pembacaan yang menarik untuk ditelaah. Mari kita mulai dengan mencermati beberapa persamaannya dan menghubungkan perbedaannya.
Identitas dan Tempat
Kunci Kecilnya Sudah Hilang mengetengahkan hubungan seorang perempuan dari keluarga Jawa bernama Sarah dengan Druv, laki-laki India putra seorang Brahmana. Cerpen ini begitu dingin menggambarkan relasi rumit keduanya yang melibatkan kekerasan fisik dan emosional. Narasi cerita menyiratkan bahwa keduanya seakan tak sadar dengan apa yang menimpa mereka. Hal ini membuat nuansa dingin semakin terasa dalam cerpen ini. Siapakah yang sedang berpura-pura tidak tahu? Apakah hal ini ada hubungannya dengan bagaimana Sarah melihat dirinya?
Perihal identitas dalam cerpen ini berkelindan dalam “ruang interior”. Pembaca sudah diberitahu hal itu dari bagian di narasi pembuka cerpen melalui penyebutan “tubuh” —suatu lokus paling dekat dari seseorang untuk mengidentifikasi dirinya— sebelum sampai kepada siapa tokoh yang akan dihadirkan. Narasi mula-mula menghadirkan tubuh sebagai yang pertama berbicara: Tubuh itu gelisah. Tubuh itu sengaja datang awal untuk memberi waktu pada keraguan. Tubuh bernama Sarah itu tidak membatalkannya.(Hal.35)
Begitu pula ketika memperkenalkan tokoh Druv: Dari sisi lain danau, tubuh lain datang mendekat. Ada harapan yang sangat dalam dan berputar di balik itu, yang tidak mudah diselami seperti gunung Himalaya tempat tubuh itu menghabiskan masa kecil. Dia, tubuh bernama Druv, dokter yang hampir selesai pendidikan jenjang doktoral dalam bidang neurologi.(Hal.36)
“Tubuh” di sini memainkan peran penting sebagai salah satu kode traumatik yang akan banyak bertaburan di sekujur cerita. Fitur “Tubuh” sebagai pintu masuk bagi pembaca untuk mengenali cara pandang tiap tokohnya. Tubuh dalam kacamata Sarah adalah lokus yang paling sering dihakimi. Sebelum kita melihat begitu banyak luka yang ditorehkan pihak lain—dalam hal ini Druv—tubuh Sarah sudah terjajah sejak dulu oleh pihak yang paling dekat dengan dirinya, yakni: keluarga. Tampak melalui narasi berikut: Cermin selalu mengingatkannya pada teguran Ayah dan sindiran Ibu. Semacam, “Kamu berpakaian terlalu ketat.” “Senyummu seperti dibuat-buat.” “Kamu bicara tanpa batas, seperti anak-anak yang tidak pernah dewasa.”(Hal.38)
Selain “Tubuh”, ada pula fitur “Cermin” di sini yang tak hanya bekerja untuk menghubungkan jejaring pengalaman Sarah dalam melihat dirinya sendiri melalui “aktivitas bercermin”, tapi juga menegaskan bahwasanya pengalaman ketubuhan Sarah selalu dalam ingatan yang negatif. Sebagai seorang perempuan, tubuh Sarah telah lebih dulu dicengkeram oleh batasan-batasan yang dibuat oleh ibunya: Sarah cerita bahwa pilihan menguntit agama ibu membuatnya harus menanggung semua “kesalahan” dan “kegagalan” ibunya itu. Dia tidak boleh menikah muda, tidak boleh disentuh pria, dan tidak boleh tersenyum sembarangan. Dia harus menjadi suci seperti mawar yang durinya abadi.(Hal.44)
Melalui “cermin” pula Sarah berusaha mendobrak batasan yang semula dilekatkan padanya itu dengan memulai hubungan pertamanya bersama seorang laki-laki yaitu Druv: Mereka ditemukan oleh cermin bertahun-tahun lalu.(Hal.38) Pertolongan Druv kepadanya untuk memperbaiki posisi cermin agar ia dapat melihat dirinya sendiri tanpa perlu menjinjitkan kaki, kelak akan kita tahu bahwa secara ironis cermin yang sebagai sarana untuk kembali berani melihat pengalaman ketubuhan, justru berakhir dengan lebih tragis lagi: tubuh Sarah adalah lahan percobaan bagi Druv dalam menyalurkan hasrat seksualnya yang ekstrem.
Pada cerpen ini kita bisa melihat ketimpangan pengalaman ketubuhan seorang perempuan dan laki-laki. Apa yang dicitrakan Druv melalui pengalaman ketubuhannya justru menampakkan ia sebagai sosok yang lebih superior. Druv yang penuh perhitungan dalam memasukkan apa makanan yang pantas bagi tubuhnya. Druv yang sudah punya privilese sejak kecil: Bayangkan, sejak kecil, aku sudah dibesarkan oleh dedaunan dan bulir-bulir kacang gunung yang kaya protein.(Hal.37)
Druv yang pernah menjadi vegetarian dengan membeli kedelai-kedelai rasa daging dengan harga mahal. Druv yang seorang dokter. Pandangannya sebagai seorang dokter membuatnya memiliki alasan untuk memperlakukan tubuh Sarah seperti sedang praktik bedah: ...Druv mengamati Sarah dengan apa yang ia sebut sebagai autoptic principle. Sarah adalah tubuh mati yang harus diobservasi satu-satu, sisi per sisi, bagian per bagian. Sarah adalah manekin yang hangat, tempatnya berlatih menghafalkan otot dan tulang. Druv meraba wajah Sarah pelan sambil merapal: temporalis, zygomaticus, masseter, depressor anguli oris, mentalis, lalu turun ke trapezius, platysma, dan turun lagi, dan lagi.(Hal.46)
Dalam pengalaman seksualnya bersama Sarah, komando pun dipegang sepenuhnya oleh Druv: Druv ingin menjadi kuda tetapi Sarah terlalu lelah menjadi putri yang dibawanya lari. Druv ingin menjadi bocah tetapi payudara Sarah mengkerut tanpa air susu. Druv ingin menjadi anjing namun tubuh Sarah terlalu rapuh menerima gigitannya. Luka-luka di tangan dan kaki Sarah belum sembuh.(Hal.49)
Posisi Sarah menjadi termarjinalkan dua kali: tubuh yang dihakimi oleh pihak keluarga dan tubuh yang dikuasai oleh pihak Lain__oleh Druv yang notabenenya sama-sama anak muda dari negeri berkembang__baik ketika Sarah ada di tanah asalnya maupun ketika ia di tanah rantau. Secara pahit pula, Sarah justru memandang kekerasan yang dialaminya itu sebagai sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan permainan masa kecilnya di sawah: Kesakitan-kesakitannya, memar-memar itu, luka-luka yang terbuka, tidak berbeda dengan yang ia dapatkan dari permainan diam-diam di sawah itu.(Hal.48) Pengalaman kekerasan yang dialaminya semacam “cermin” yang memantulkan dunia kanak-kanaknya. Dunia kanak-kanak yang pada salah satu bagiannya tidak dicengkeram oleh penghakiman dari keluarga.
Bila cerpen Kunci Kecilnya Sudah Hilang berbicara persoalan identitas melalui pengalaman ketubuhan, di cerpen Aliansi Monyet Putih perihal identitas berkelindan dalam “ruang eksteriror” di mana persoalan politik, pendidikan, kaum intelektual, dan gaya hidup saling memenuhi pembacaan dalam gerak yang dinamis. Seorang tokoh bernama Marquis yang bernama asli Sumartono Hidayat mengganti kewarganegaraannya setelah tinggal di Jerman. Identitas baru Marquis adalah identitas yang “sukarela”: Alasannya sederhana, supaya bisa pergi ke mana-mana dengan mudah (Hal.58)
Dari identititas baru itu ia memperoleh banyak keuntungan: menjadi partner hidup Volker, seorang profesor sejarah Eropa; mengendarai mobil mewah dengan kecepatan tinggi di jalan tol yang menjadi incaran penggemar mobil sport dari seluruh dunia; bekerja sebagai fashion consultant di rumah mode ternama dari Italia; dan memiliki sederet koleksi pakaian dan parfum mewah.
Dengan alasan yang praktis untuk mengganti kewarganegaraan, Marquis alias Sumartono tidak melupakan kampung halamannya. Ia menerapkan resep jamu ibunya sebagai penangkal penuaan. Berbeda dengan fitur “Cermin” yang menghubungkan Sarah dengan masa lalu di tanah kelahiran, di cerpen Aliansi Monyet Putih ada fitur “Kretek” sebagai penghubung Marquis dengan tanah asal. Tidak seperti Sarah yang melihat “Cermin” sebagai sesuatu yang mengancam, Marquis menganggap “Kretek” adalah bentangan nostalgia yang menghangatkan hati: Cuma satu ini yang tidak mau kuubah. Selain nikmatnya, aku punya ikatan yang kuat dengan kretek. Kepulan asapnya seperti televisi yang menayangkan kenangan dan peristiwa-peristiwa dalam hidupku. (Hal.53)
“Kretek” Marquis dianggap Volker sebagai sesuatu yang mengganggu karena takut apinya terbang dan mengenai koleksi dokumennya selama di perjalanan mereka menuju perpustakaan Wojewodzka i Miejska Biblioteka tempat konferensi dan acara perpisahan diadakan untuk Volker yang akan dihadiri oleh kaum intelektual: profesor sejarah, pustakawan, dan arsiparis dari berbagai penjuru dunia. Tidak hanya kretek, sikap ugal-ugalan Marquis mengendarai mobil membuat Volker beberapa kali menghembuskan napas pasrah. Dalam relasi mereka, Marquis yang “seorang Jawa” ini tampak lebih superior dibandingkan Volker yang “seorang Jerman”. Ingat bahwa Marquis yang memegang kemudi selama perjalanan mereka dan Volker hanya sebagai pengarah dengan sesekali bertindak seperti orangtua yang sedang memberi nasihat. Pun ide-ide yang diberikan Marquis terkait bagaimana arsip intelektual Volker bisa diselamatkan menjadi keputusan final yang disetujui Volker.
Sekilas posisi Marquis tampak mapan baik dalam relasinya dengan Volker maupun tercermin dari gaya hidupnya. Namun itu ternyata semu belaka. Dengan identitas baru yang diubahnya secara “sukarela”, dengan seluruh peniruan terhadap gaya hidup kalangan atas di sana, toh identitas baru Marquis beberapa kali membuatnya gagap. Keterasingan tetap tidak bisa dihindari. Ini tercermin dari bagaimana ia harus mencari bahan pembicaraan yang tidak jauh dari lingkaran intelektual Volker. Untuk bisa diterima menjadi bagian mereka, Marquis tidak bisa menceritakan dirinya sebagaimana adanya, selalu dunia Volker sebagai pusat gravitasinya: Kadang-kadang, untuk bisa menyeimbangkan, Marquis menceritakan profesor-profesor lain, atau cerita dari Volker yang sebetulnya rahasia, atau yang ia dengar samar-samar dan ia simpulkan sendiri. (Hal.65)
Bagian menarik tentang “kegagapan” Marquis terhadap kompleksitas lingkungan pergaulannya terdapat juga di paruh akhir cerpen ini ketika ia mendengar cerita dari seorang profesor tentang pengalaman si profesor bersama Volker menjelajahi hutan Papua, Kalimantan, Sumatera serta cerita perihal adanya manusia kanibal di Jawa yang ingin dibuktikan kebenarannya. Pembaca tidak sempat memperoleh bagaimana tanggapan Marquis yang seorang Jawa terhadap cerita tentang tanah kelahirannya itu karena riuh tepuk tangan lebih dulu memanggil untuk kembali masuk ke ruang konferensi. Namun Marquis menyimpan cerita dari profesor itu sebagai “bahan obrolan” yang akan diceritakan kembali ke kolega Volker. Cerpen ini berakhir di situ. Saya lalu menduga barangkali Marquis akan menggunakan pandangan yang “eksotis” dalam menceritakan kembali tentang hutan Indonesia dan manusia kanibal Jawa di hadapan kolega Volker.
Sampai di sini setidaknya kita sudah melihat adanya wacana marjinalitas seperti ketimpangan gender (Kunci Kecilnya Sudah Hilang) dan jarak sosial dan geografis (Aliansi Monyet Putih). Dalam horison ini, wacana marjinalitas itu saling menunjukkan dunianya yang pelik. Saya pikir ulasan atas dua cerpen di atas bisa menjadi pilihan dalam melengkapi tinjauan atas cerpen-cerpen lainnya dalam buku ini.
Kebun Sari, September 2022
Penulis
Iin Farliani, penulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) dan kumpulan puisi berjudul Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022) . Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sejak tahun 2013 hingga sekarang aktif berkegiatan sastra di Komunitas Akarpohon Mataram. Tahun 2020 terpilih sebagai salah satu Emerging Writer pada Makassar International Writers Festival (MIWF) 2020. Tahun 2022 terpilih sebagai salah satu Emerging Writer Indonesia pada Ubud Writers & Readers Festival.