• Tafsir 'yang Mungkin' Dari Sapi dan Hantu



    Sebermula tafsir, penyair adalah penafsir yang memungut kata - kata dari persentuhan dengan alam, dirinya sendiri dan Tuhan.   

    Puisi lahir dari peristiwa, dan tidak lahir dari kekosongan. Momen puitik yang ditangkup penyair dalam puisi mengarak pembaca terpejam, resah, penuh tasfir, tanda tanya, bahkan dengan kompleks menimbulkan beragam pembacaan. Sebuah puisi memiliki semesta terbuka di mana pembaca dapat menemukan interkoneksi yang tak terhingga. 

    Persinggungan manusia, dengan alam, hewan, dan lingkungan menjadi sumber inspirasi. Proses kreatif lewat puisi muncul sebagai medium estetika dalam menafsir, dan menguar makna. Proses seorang penulis dalam memupuk peristiwa terefleksikan lewat metafora, tanda, dan majas-majas.  Puisi mengusung tema demi nilai-nilai yang berkaitan dengan kondisi di sekitar. 

    Awal dari tulisan ini sebagai upaya untuk memahami keterbukaan makna yang luas dari antologi puisi karya Dadang Ari Murtono, Sapi dan Hantu (2022). 

    Octavio Paz, pernah menyebut puisi sebagai the other voice. Sebentuk suara, yang menyedot pembaca terbenam, berlama-lama dengan kata. Kita akan tersedot pada spektrum kata-kata, membentuk semesta sendiri dalam imaji, lalu terhempas kembali ke dunia nyata. Secara garis besar, buku Dadang Ari Murtono ini dibedakan jadi dua sub bagian: sapi dan hantu. 

    Melalui sapi, penulis hendak mengolah spiritualitas masyarakat Jawa dalam kemasan tafsir yang bebas. Sementara hantu, jalan bagi penyair untuk bertolak pada dunia kosmologi Jawa, kengerian, sekaligus tragedi dari peristiwa yang pernah terjadi. Tafsir bagi antologi puisi Dadang terbentang luas dengan lekatnya berbagai unsur budaya.

    Budaya yang merupakan laku sehari-hari manusia bisa berupa apapun. Budaya bersifat mengikat dengan keadaan di lingkungan. Orang-orang yang hidup pada daerah pesisir akan bersinggungan dengan lokan, kapal, dan ikan. Masyarakat di daerah perkotaan, sehari-hari harus memepak telinganya dengan bising dan deru kendaraan. Penduduk di dataran tinggi, kebanyakan hidup sebagai petani atau peternak yang akrab dengan gembala sapi. 

    Sapi-sapi  digembala manusia untuk  bertani. Pada masa lampau, sapi-sapi akan ribut dengan pekerjaan di hari jelang panen. Manusia melihatnya sebagai hewan yang suci, kepercayaan agama Hindu. Marvin Harris tergerak dengan Sapi, dia menjadikan hewan itu sebagai objek penelitian. Di India, kaum Brahmana tak akan memakan sapi, hewan mulia. Sapi di India kata Marvin, menjadi pertahanan terakhir melawan lintah darat. Seekor sapi betina jompo yang kurus kering masih terlihat cantik dimata pemiliknya. Perjumpaan Dadang dengan sapi menghadirkan puisi. 

    Puisi panjang berjudul ‘sejumlah puisi di kandang ganjaran,’ sudah cukup memberikan pengetahuan kepada kita tentang tabulasi berbagai jenis sapi. Berbagai macam jenis seperti sapi bali, sapi brahman, simental, limosin, dan peranakan ongole, dipinjam penyair untuk mengernyitkan pintu gerbang buku ini. Sapi bukan hanya dipandang sebagai hewan penggembala, atau hewan pembajak tanah tapi representasi kehidupan masyarakat. 

    siang tadi seorang kawannya berkata, “bukan pemuda pacet bila tak bisa main bantengan: mengisi raga dengan roh banteng” (halaman 5) 

    Pacet, salah satu kawasan di Mojokerto, tempat penyair menuliskan puisi yang membawa kita terlibat sebagai bagian dari kehidupan, tradisi, dan kepercayaan. Sapi menjadi simbol budaya karena pada bait selanjutnya semakin jelas arah puisi “sapi bali juga keturunan banteng, dia kuat membajak sawah, dan kotorannya bagus menyuburkan tanah.”  

    Corak budaya, kehidupan masyarakat dalam pola yang dibangun dari kemampuan spiritual dan intelektual semakin tersingkap pada puisi berjudul ‘sapi gajahmungkur’: kini, di dusun podho orang-orang melantunkan/shalawat nabi di langgar untuk mendapat syafaat/ dan merapal mantra-mantra warisan sang pertapa/ untuk memanggil atau menggembalakan sapi-sapi (halaman 21).

    Puisi yang menautkan peristiwa alamiah masyarakat untuk mengikat hewan sapi sebagai hewan peliharaan. Puisi sapi gajahmungkur sangat mirip dengan proses upacara ngalungi sapi. Upacara yang banyak dilakukan masyarakat Jawa mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta. Hal ini dapat dilihat pada bait merapal mantra-mantra warisan sang pertapa. 

    Dengan peristiwa merapal sebagai ikatan rasa syukur manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ngalungi sapi biasanya dimaksudkan untuk permohonan dan doa agar sapi-sapi yang dimiliki diberi kesehatan dan cepat beranak pinak. Munculnya kekhasan upacara tradisi Ngalungi Sapi dalam teks puisi sebagai bentuk kepekaan penyair pada jelajah spiritualitas masyarakat. 

    Selanjutnya masih dengan simbol sapi, melalui puisi berjudul ‘setapak sapi’ kita dibawa pada ingatan. Ingatan tentang aturan-aturan dan keyakinan yang sengaja dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhannya dalam berkehidupan.

    setiap kali melewati setapak menuju sawah itu/orang-orang selalu ingat apa yang dikatakan duku rimang/perihal maling yang menguasai sirep binatang/ (halaman 11).

    Kita bisa merasakan pada fragmen itu ada semacam kengerian untuk abai pada kepercayaan masyarakat. Kepercayaan yang dipercaya, dilakukan, dan ada rasa takut untuk dilanggar ini bersifat mengikat. Adanya ikatan manusia dengan alam sejatinya bermakna keseimbangan. Jika dilanggar pada bait selanjutnya, menundukkan kepala untuk menghormati yang kehilangan dan yang kesakitan ada konsekuensi dari larangan. Barangsiapa yang masih berani lewat di jalan setapak itu, bersiaplah kehilangan sapi. 

    Dadang menggunakan realitas budaya dalam puisi berjudul ‘matahari bersalin di kandang ganjaran’. Orang-orang berlari ke satu titik ke satu titik seperti dulu sewaktu/ terdengar teriakan maling di malam-malam penuh kecemasan dan kegeraman. 

    Penyair menciptakan jembatan bagi pembaca untuk mengenang suatu peristiwa yang mungkin saja bermuara dari kisah dan pernah terjadi. Masyarakat berlari pada satu titik terjadi akibat pergumulan yang dilatarbelakangi cemas dan geram. Kesadaran ini merespon kata ‘maling’ sebagai sesuatu yang membahayakan lalu akhirnya lari pada suatu titik. 

    Setelah sapi, kita akan dibawa pada hantu. Hantu secara harfiah merupakan makhluk tak kasat mata yang bisa dirasakan dengan kehadiran, sebentuk wangsit, atau sebuah respon akan yang keberadaan entitas yang gaib. Mari kita hayati petikan puisi yang berjudul ‘kedung baya’: menjelang pagi orang-orang pergi, meninggalkannya yang tinggal torso/berkepala; mulutnya menggigit/sejumput alang-alang, lantas pusaran air meninggi,/menyahutnya, menenggelamkannya,/memupus luka dan menjadikannya /makhluk tak kasat mata (halaman 42)

    Hantu, bagi Dadang tampak bukan hanya bersandar pada yang gaib. Dia seolah menegaskan hantu adalah desas-desus sejarah kelam yang terus dirawat dan dipercaya sebagai sebuah bahaya. Penyebab kematian dari makhluk tak kasat mata yang tinggal torso kepala itu karena tudingan bahwa dia (aku lirik dalam puisi) merupakan komunis. Seperti halnya hantu, komunis menciptakan kengerian bulu kuduk, menciptakan ketakutan, dan kegetiran sejarah juga ingatan.

    Hantu menjadi simbol bagi adanya kejahatan yang acap kali tidak dilirik mati (gaib) bagi sebagian orang, namun nyata bagi yang mengalami dan merasakan. Kita simak puisi berjudul ‘setelah penguburan nenek tamah’ berikut: sebagian warga percaya desas-desus itu, sebagian/tidak, tapi siapa pun tahu, mereka mesti menjaga/makam siapa pun yang mangkat selasa legi, sebab/para pemburu ilmu tua bakal datang sebelum malam/ketujuh, datang merangkak seperti seekor anjing,/mengeduk makam basah itu dengan cakar, dan menyobek/sepotong kafannya dengan gigitan kasar (halaman 66)

    Intertekstualitas atas irisan budaya yang termuat dalam puisi-puisinya. Karena pada dasarnya sastra dan antropologi merupakan dua hal yang berdekatan. Keduanya dapat bersimbiosis dalam mempelajari manusia lewat ekspresi budaya.

    Sastra dalam hal ini puisi mungkin saja mengarah pada ranah imajinatif, sementara antropologi menyajikan fakta-fakta masyarakat dalam terma budaya. Simbiosis sastra (khususnya puisi) dan antropologi menyajikan sikap budaya yang ditulis dengan bahasa figuratif, metaforis, dan estetis. Setidaknya Dadang hendak menyajikan kondisi antropologis dengan jalan puisi. Tidak heran bila penyair lewat puisinya menyajikan narasi budaya. 

    Antropologi  sangat kentara dalam sehimpun puisi ini. Keterkaitan teks sastra dengan budaya masyarakat menjadikan buku ini penting untuk ditelaah. Masalahnya adalah teks sastra dengan banyak sekali kekuatan imajiner tidak kemudian begitu saja disajikan sebagai antropologi sastra. 

    Dadang Ari Murtono dalam buku yang terbit di Penerbit Pelangi Sastra Malang tahun 2022 ini melakukan pemaknaan baru ‘dalam’ kemungkinan teks sastra. Dewan Kesenian Jakarta (tidak) keliru menisbatkan penghargaan kedua bagi Sapi dan Hantu karya. Kendati, para Juri bersepakat kata, - tak ada yang menghuni juara satu. Dadang mungkin tetap jadi juara terbaik bagi masyarakat Pacet, Mojokerto.*

    *Penulis

    Dani Alifian, kelahiran Situbondo 1999. Saat ini menjadi wartawan di beritajatim.com. Menulis esai sastra, dan puisi di beberapa media.

  • You might also like