Persetubuhan yang mekanistik dan penuh paksaan, membuat manusia tampak seperti robot, atau benda semata. Tak berjiwa, tak berperasaan. Di Paris, Foucault pun jemu tatkala mengetahui banyak kasus seksualitas berkelindan dengan laku kekerasan. Ia pada akhirnya menuliskan kritik di risalahnya bertajuk The Use of Pleasure: The History of Sexuality (1985).
Tak sedikit orang, ujar pemikir Perancis yang memilih plontos itu, dalam relasi seksual yang hirarkis, tubuh disimplifikasi sebagai objek. Seorang pasangan acapkali direpresi saat bersanggama lewat pelibatan asumsi-asumsi ihwal tubuh yang aneh. Setamsil, “punyamu kecil, toketmu rata, dan kurang bertenaga” atau “punyamu becek”, dan sebagainya.
Celetuk-celetuk itu meruntuhkan gairah. Memantik api amarah. Hasrat meredup dan bertemunya penis dan vagina tak lebih dari tabrakan daging ke daging yang nirpenting.
Saya lantas teringat sebuah kisah garapan Ratih Kumala bertitimangsa 2010 dalam cerpen yang berjudul “Tahi Lalat di Punggung Istriku”. Ratih Kumala menuliskan ihwal cinta yang tumbuh bukan karena otak nan pintar, atau wajah nan menggoda. Juga bukan karena bergaya keren dan bersikap anggun. Tetapi karena kegandrungan pada setitik noktah hitam; tahi lalat.
Cinta memang seringkali muncul dari hal-hal tak terduga. Sepele. Mungkin juga receh. Tetapi, dari yang sering diabaikan itu, cinta sanggup tampak alot, bergejolak, dan mengejutkan.
Ratih Kumala menceritakan seorang suami yang menghasrati titik hitam di punggung istrinya. Tahi lalat mencuri perhatian. Setiap kali bersenggama, tahi lalat itu tak luput untuk diraba, diciumi, disemburkan sperma di sekitarnya. Dan celakanya, itu tak terjadi hanya sekali.
Setelah bertahun-tahun melewati pernikahan, tahi lalat masih jadi objek nafsu suami. Agaknya ada yang salah. Sikap aneh itu mulai disadari istri. Istri pun bingung. Ada gelagat tak normal tatkala suami tidak pernah mau mencium pipi, atau bibir, atau bagian tubuh yang lain. Suami selalu tertuju pada punggung. Menatap hangat tahi lalat, lalu kemudian mengecupnya dengan sigap. Jika sang istri tak meminta untuk mencium bibirnya, suami tak juga mau peduli.
Cinta suami, dalam bayangan sang istri sudah mulai dirasa ganjil. Si istri tersinggung. Suami hanya mencintai istrinya dalam imaji yang tumbuh dalam pikirannya: fantasi tentang tahi lalat yang hanya secuil. Namun, digeluti dengan sangat berlebihan. “Ada tahi lalat di punggung istriku. Cantik sekali…tak ada yang secantik tahi lalat di punggung istriku”, ujar suami.
Kehendak untuk melawan konstruk buatan suami, muncul dalam benak sang istri. Ia pun memutuskan ingin operasi plastik. Sebab, sang istri kesal. Ia seolah bermusuh dengan setitik noktah di tubuhnya sendiri. Ia berencana melenyapkan secuil tanda hitam dengan laser di tempat praktik dokter kecantikan. Tahi lalat dimusnahkan, tubuh direkonstruksi demi mendapatkan cinta hakiki. Punggung dipermak agar bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan suami, tanpa harus terganggu tahi lalat saat bercinta, yang sudah lama tak pernah dinikmatinya.
Suami dalam cerpen Ratih ini, sungguh telah melakukan kejahatan eksistensial pada istrinya. Suami mungkin tak sadar telah mereduksi hubungan dengan istri ke dalam imaji yang absurd. Asumsi kecantikan yang sebenarnya selalu nisbi, dimapankan lewat mulut suami; cantik itu punya tahi lalat dipunggung. Definisi itu, bagi Foucault, memaksa dan mengikat hubungan seksual mereka dalam suatu prosesi yang asing.
Artikulasi ihwal cantik seperti anggapan suami itu tak hanya keliru, tetapi mampu berujung pada penyiksaan psikologis sang istri. Cantik yang membawanya pada kepuasan biologis saat bersanggama, namun pada saat yang bersamaan, lupa pada bagaimana tersisihnya perasaan pasangan.
Suami meraih kenikmatan lewat percumbuannya dengan imaji sebuah tahi lalat, bukan dengan istri, kekasih yang manusia. Dan di titik itu, hubungan seksual –ujar Aprinus Salam dalam pengantar buku Zizek, Subjek, dan Sastra (2018) – hanya sebuah pergesekan daging, hanya sebuah pertukaran cairan.
Persetubuhan bukan semata masuknya lingga ke dalam yoni. Ada aturan walau tak tertulis. Ada kesepakatan, meski kadang tak pernah tercakapkan. Ketidakadilan dalam ritual pergumulan suami-istri, merupakan masalah pokok yang fatal.
Di buku berjudul Assikalabineng: Kitab Persetubuhan Bugis (2008), anggitan filolog Muhlis Hadrawi, istri sebagai perempuan mendapat posisi sangat penting dan perlu diperhatikan. Istri bukan budak. Apalagi, sekadar pemuas nafsu belaka. Ada etika dalam bersanggama.
Persetubuhan itu harus berpijak pada perasaan saling menghargai. Dalam Assikalabineng, yang berasal dari naskah kuno tradisi Islam orang Bugis era kerajaan, ada petuah agar hubungan seksual dilakukan ketika betul-betul menguasai kesadaran, saling bersepakat, tidak mabuk, tidak ngantuk, apalagi hilang akal. Sebab, mesti ada empati saat bertemunya tubuh suami dan istri. Ada yang suci dan sakral. Ada pergulatan cinta yang hakiki.
“bila ada laki-laki yang lebih duluan klimaks dibandingkan perempuan,” tukas Muhlis, “maka hubungan itu dianggap gagal”. Konon, kenikmatan yang didapat oleh suami-istri setelah bercinta, merupakan sebuah ritus. Sebuah ibadah. Semacam ungkapan syukur pada Tuhan yang Maha Kuasa.
Assikalabineng mirip dengan kitab seksualitas Kamasutra garapan Vatsyayanna dari India. Atau Serat Centhini yang moncer di Jawa. Meski ada banyak perbedaan, karya tersebut sama-sama berpretensi menyatakan kritik pada relasi seksual yang represif. Menindas, egois, dan tak saling memuaskan. Seperti yang tergambar dari cerpen “Tahi Lalat di Punggung Istriku”.
Sanggama itu peristiwa kosmos antara yang fisik dan mistik. Dialektika antara yang profan dan ilahi. Karenanya, ia juga sebuah percakapan. Memerlukan kesaling-mengertian. Sebuah ritus yang lahir dari keinginan bersama. Sebuah dialog. Ia bukan lakon monolog yang bisa bicara sendiri. Nikmat dan sakit sendiri. Atau tertawa dan sedih sendiri.
*Penulis
Mario Hikmat, bergiat di Kolektif Nong, Kotabaru.