• Lapisan Terluar Tatapan Perempuan





    Sebuah pameran seni rupa digelar pada 10, 11, dan 12 Agustus 2022 di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Nusa Tenggara Barat (NTB). 

    Mengusung “Tafsir Puan” sebagai tajuk, yang mengerucut pada interpretasi visual perempuan perupa, pameran ini menampilkan sejumlah karya dari delapan perempuan perupa asal Lombok: Esti Ebhi Evolisa, Maimanah Amini, Hj. Novia Ariana, Tia Sofiana, Roswati Husry, Pratatih Ratasya, Wihartini, dan Yusniati.

    Begitu memasuki galeri, tiga lukisan karya Esti Ebhi Evolisa menyambut tatapan kita. Warna-warna bumi—coklat, kuning, oranye, merah bata, hitam, serta sedikit hijau lumut dan putih susu—yang mendominasi ketiga lukisan tersebut agaknya menjadi penanda awal kita terhadap karyanya. Warna-warna tersebut dipadu membentuk sejumlah wujud: wayang, tubuh-tubuh manusia, serta simbol kosmik. Dan, tak hanya tiga, ternyata empat buah lukisan Esti Ebhi Evolisa lainnya akan kita temukan setelah berbelok ke kiri sedikit.

    Terhadap empat lainnya, Esti Ebhi Evolisa bermain dengan dominasi bunga-bunga mekar; dengan tetap konsisten terhadap warna-warna bumi. Pada salah satu lukisan, berjudul Penari, bunga-bunga mekar dihadirkan bersama sesosok manusia hitam kurus, berambut gelung, menggunakan rok mekar warna hitam dan merah senada bunga-bunga yang melingkarinya. Sosok tersebut tampak menari di sore hari, di antara bunga dan puing-puing hitam. Garis dan batas warna yang membentuk lukisan Penari tak serapi enam lainnya, akan tetapi ketidakrapian tersebut justru mampu menghadirkan kedalaman pandangan.

    Di dekat karya-karya Esti Ebhi Evolisa, terdapat empat karya monokrom Yusniati—hasil goresan pensil atau sejenisnya; dan empat lainnya di seberang—yang tampaknya dihasilkan dari cat air. Selain itu, bila kita berbelok kanan untuk terus masuk ke galeri, masih ada dua karya Yusniati akan kita temukan. Karya-karya Yusniati tergolong beragam tanpa menawarkan penanda apa pun. Kita bisa saja menemukan interpretasi pandangan visual demikian dari tatapan mereka yang bukan perempuan. Hal ini rupanya senada dengan karya-karya Wihartini, yang letaknya berseberangan dengan dua karya Yusniati. Kelima karya Wihartini seluruhnya monokrom, dan sedikit beda dari Yusniti; karya-karya Wihartini merupakan lukisan potret—yang, walaupun menangkap visual perempuan, sifatnya sebatas permukaan semata.

    Di sebelah karya Wihartini, kita temukan dua karya Pratatih Ratasya yang menghadirkan visual feminin dari potret surealis dengan warna tegas—hitam, biru tua, merah pekat, dan garis lava. Keduanya, secara ekstrem, berbeda dari tiga karya Pratatih Ratasya yang terletak tepat di sebelah mereka; hanya dibatasi oleh bentuk siku-siku bangunan galeri. Pada tiga lukisan ini, visual feminin Pratatih Ratasya tetap terpancar sekalipun nuansa yang diusung telah berbeda. Ada semacam upaya dari Pratatih Ratasya untuk mencari bentuk lain seraya mempertahankan identitas visual. Ia beralih ke warna-warna ceria—merah muda, kuning, oranye, hijau muda, biru muda, dan ungu—dan mengubah sudut pandang agar tangkapan visual menjadi lebih luas; tidak lagi zoom in pada potret surealis melainkan zoom out ke ruang surealis—yang tampak seperti mimpi indah anak-anak sepulang dari taman safari.

    Di sebelah karya Pratatih Ratasya, kita bertemu dua lukisan karya Maimanah Amini. Karya Maimanah Amini agaknya tak begitu asing; pernah beberapa kali hadir mengisi sejumlah pameran lukisan di Mataram. Di seberang, dari jarak sekitar belasan meter, kita mengenali satu lukisannya yang rajin dipamerkan: Poligami. Ialah lukisan monokrom bersubjek perempuan—memenuhi sepertiga tubuh lukisan—yang hanya pada bibirnya tersapu sejumput warna merah darah. Agaknya kurator memang sengaja meletakkan lukisan Poligami terpisah dari dua lukisan Maimanah Amini lainnya, lantaran keduanya kaya akan warna-warna tegas, alih-alih monokrom. 

    Seperti lukisan Let’s Grow yang hadir dengan warna merah dan kuning api menyala di tengah-tengah, juga coklat tanah kering dibarengi hijau rumput dan biru gelap pekat warna langit di malam hari. Ada sesosok anak manusia dan tumbuhan muda, mereka tampak berada di posisi sama: menanti api yang berasal dari bumi di hadapan mereka. Melalui warna-warna sedemikian rupa, Maimanah Amini sepertinya merespons isu pemanasan global yang berkaitan dengan regenerasi makhluk hidup.

    Beranjak ke sebelah, lukisan potret perempuan—beruban dan keriput menangkupkan tangan bersama bendera Indonesia—karya Roswati Husry menyambut kita. Di pojok deretan, terdapat pula lukisan potret perempuan muda belia sedang mengupil menggunakan tangan kirinya. Dari dua lukisan tersebut, terlalu buru-buru bila kita menyimpulkan bahwa Roswati Husry hanya melukis potret, sebab tak jauh dari lukisan potret perempuan muda belia terpajang dua lukisan bunga teratai dan satu lukisan bunga hias dalam mangkuk di atas meja. Roswati Husry, meskipun tak ekstrem dalam memilih warna, barangkali sejalan dengan Pratatih Ratasya dalam memosisikan sudut pandang.
     
    Di antara dua lukisan potret perempuan karya Roswati Husry, terapitlah tiga lukisan absrtak karya Hj. Novia Ariana. Lukisan Fokus menjadi yang pertama kita pandang; secara paradoks tak satu pun kita temukan titik fokus pada lukisan berwarna dominan hitam tersebut. Bentuk tegas  dua segitiga lancip hitam dan merah, yang porsinya sedikit dan berdempetan di bawah itu, telah dikacaukan oleh deretan acak sejumlah lingkaran macam gerhana matahari total, dan diramaikan pula oleh percikan cat putih. Tumpukan gerhana hadir di bagian atas, menutupi guratan hijau muda, hijau tua, dan kuning; nyaris mirip gumpalan lemak dan kulit semangka. Tumpukan arah tertuju pada lukisan Fokus seperti refleksi terhadap cara kerja pandangan manusia masa kini: kemudahan akses atas sejumlah hal justru membuat tatapan dan pikiran sulit diarahkan ke satu hal.

    Berbeda dari lukisan Fokus, kehadiran lukisan Mistery of the Circle seolah-olah hendak mengajari kita untuk fokus; barisan palet warna terarahkan mengikuti jarum jam, membentuk pusaran masuk ke tengah. Sayangnya, tumpahan bercak merah besar di antara barisan palet warna serta percikan cat putih dalam pusaran itu telah menggagalkannya. Semakin ditatap lekat-lekat, tumpahan dan percikan tersebut semakin terasa mengganggu. Kendatipun demikian, ketergangguan yang muncul  akhirnya mengajak kita untuk bertahan, kita seperti manusia belia yang dipaksa mempelajari keahlian tertentu demi kemandirian di masa dewasa.

    Tepat di seberang lukisan-lukisan Hj. Novia Ariana, kita menatap dua rumpun lukisan potret berukuran kecil—jika dibandingkan dengan deretan lukisan sebelumnya—karya Tia Sofiana. Barangkali objek tatapan memanglah menandakan identitas generasi setiap perupa. Dari tujuh perupa lainnya, hanyalah Tia Sofiana yang terbaca bersikap spontan terhadap peristiwa di sekitarnya. Lihatlah 50 potret yang dihadirkannya; kita dengan mudah akan mengenali sejumlah wajah, entah itu potret diri si perupa ataupun tokoh-tokoh populer masa kini—yang bahkan kecil kemungkinannya dapat ditemui secara langsung. 

    Bila menatap kembali lukisan Fokus karya Hj. Novia Ariana, kemudian menatap potret sejumlah tokoh populer karya Tia Sofiana, kita menduga terdapat satu kesamaan kondisi ataupun peristiwa yang dialami secara virtual. Terhadap hal itu, kedua perupa meresponsnya dengan sangat berbeda, baik dari segi objek tatapan ataupun teknik melukis.

    Me Time

    Seluruh lukisan memanglah dilukis oleh perempuan, tapi tidak semua memunculkan interpretasi visual yang berkaitan erat dengan tatapan perempuan. Sama sekali tak tampak gagasan, konsep, ataupun kegelisahan yang merupakan keautentikan olah rasa seorang perempuan. Ibarat kata, adalah seorang perempuan yang melihat satu peristiwa di hadapannya, kemudian diceritakan kepada orang lain. Penglihatan tersebut adalah lapisan terluar saja—tidak diolah bersama pendapat ataupun pengetahuan si perempuan; begitulah kiranya yang secara dominan tampak pada karya-karya dalam pameran ini.

    Dengan demikian, akhirnya kita merasakan adanya sebuah jarak yang lebar menganga antara para perupa dan karya mereka masing-masing. Mengapa demikian? Itu semua agaknya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh kurator “Tafsir Puan”, Sasih Gunalan, bahwa, “... posisi perempuan dalam tatanan adat dan berbagai faktor lain, menjadi salah satu penyumbang bagaimana perempuan di Lombok tidak begitu tertarik dan enggan hidup dalam dunia kesenian, khususnya seni rupa.”

    Melakukan kerja kesenian membutuhkan ruang dan waktu khusus; terlebih bagi mereka yang—karena kondisi tertentu—tidak sepenuhnya menggeluti dunia tersebut. Oleh karena itu, kualitas ruang dan waktu khusus tersebut lebih penting ketimbang kuantitasnya. Dewasa ini dapatlah kita sebut kepentingan di atas sebagai me time. Dalam me time, para perempuan dapat menghayati pengalamannya secara lebih tajam dan dalam, pun mengulik teknik atau hal-hal serupa yang dapat meningkatkan kualitas (pun eksistensi) dirinya di dunia seni rupa.

    Tak terbatas pada kerja individual di atas, kesempatan berjejaring sesama perupa melalui ruang diskusi, atau bahkan berkolaborasi dengan seniman lintas bidang pun tak kalah penting untuk diciptakan. Bagaimana Esti Ebhi Evolisa dan Hj. Novia Ariana mengalami peristiwa sehari-hari mereka sehingga menghasilkan lukisan demikian? 

    Dan, apakah dalam karya Maimanah Amini dan Pratatih Ratasya, pilihan warna memengaruhi interpretasi visual yang mereka tuangkan dalam lukisan? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti ini, idealnya, dapat menjadi pemantik bagi para perupa untuk menatap kembali karya masing-masing.*


    *Penulis

    Ilda Karwayu menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi; telah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, yakni “Eulogi” (PBP, 2018) dan “Binatang Kesepian dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Aktif bergiat sebagai Manajer Program di Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah lingkungan kerja kolektif bagi pegiat seni, khususnya sastra, di Mataram.



  • You might also like