• “Karena Kamu Perempuan” dengan Segenap Tuntutan Kolot yang Menjadi Pengantarnya



    “Harusnya tidak melawan, karena kamu cewek” kata mantan saya pada saat masih pacaran menuju putus itu, terus terngiang-terngiang di kepala saya, meskipun relasi yang tidak sehat itu sudah dihentikan sekian tahun yang lalu. Sebagai anak yang baru saja sok-sok merayakan sweet seventeen waktu itu, tentu belum paham konsep hidup yang semestinya dijalani perempuan, termasuk “melawan atau tidak” itu, yang pasti saya paham waktu itu “melawan sebagai respons ketidaknyamanan”.

    Saya merasa tidak ada lagi kenyamanan dalam hubungan pada saat itu, gara-gara terlalu banyak didikte: mulai dari bentukan pakaian yang harus saya pakai, tingkah saya ketika berhadapan dengan dia dan orang lain, pilihan diksi yang digunakan pada saat mengobrol dengannya, bahkan sampai pola pikir saya juga seolah dikontrol oleh dia yang diikuti dengan iming-iming “ini semua demi kebaikan kamu sebagai cewek”.

    Sampai tiba saatnya, berakhirlah hubungan yang ketidakstabilannya jadi makin-makin itu. Setelahnya, terjadilah masa galau konyol yang membawa pikiran saya tercantol dengan kehidupan sekitar. Mulai menyadari, ternyata selama ini banyak tuntutan yang disodorkan kepada saya juga perempuan lain di sekitar saya, hanya karena “kami perempuan”. Bukan hanya tuntutan dari mantan tadi, yang jelas itu bukan autentik dari dia, tapi tuntutan konservatif yang dia langgengkan dari orang-orang sekitar.

    Tuntutan kolot itu, seakan mencekoki kita secara automatis turun-temurun. Sehingga, banyak dari kita yang meyakini bahwa hal itulah yang harus diimani dalam menjejali hidup ini. Sejak kecil, saya diberi semacam “pendidikan dasar beres-beres rumah” oleh orang tua: menyapu lantai, memasak nasi, mencuci pakaian sendiri, merapikan piring, dan kegiatan beres-beres lainnya yang selalu diikuti dengan alasan andalan “karena kamu perempuan”.

    Namun, dalam bagian hidup yang lain, saya punya saudara laki-laki yang melanjutkan pendidikan di sekolah asrama. Cakap atau tidak, dia harus mengurus dirinya: mencuci pakaiannya, merapikan isi lemarinya, dan membersihkan kamarnya. Mengingat, sejak dini dia tidak pernah ditekankan melakukan kegiatan beres-membereskan itu, sebagaimana ditekankan kepada anak perempuan. Akibatnya, dia kewalahan dengan rutinitas itu untuk bertahan hidup di sekolah asrama. Tentu bisa dibayangkan sekian anak sekolah atau mahasiswa laki-laki yang merantau dan mengharuskan mereka mengurus dirinya sendiri. Kalau nyatanya seperti ini, semestinya kecakapan dasar itu, tidak lagi relevan jika hanya diperuntukkan kepada anak perempuan. 

    Parahnya lagi, masih ada pemikiran “tidak perlu melanjutkan sekolah karena kamu perempuan” sekaligus sebagai kalimat kutukan yang kerap didengar oleh telinga saya sedari kecil, sebagai anak yang lahir dan tumbuh di tengah masyarakat primitif. Hal ini biasanya digandengkan dengan “pernikahan dini” yang masalahnya lebih ruwet lagi. Tentu, hal ini juga bukan pemikiran autentik dari para orang tua di sekitar saya itu. Mereka hanya menyontek dari nenek moyang kita. Puji syukur, orang tua saya tidak ikut-ikutan meyakininya dalam poin ini.

    Punya orang tua yang suportif dalam pendidikan, saya kira dalam poin itu akan beres begitu saja. Namun dalam relasi yang lain, kadang masih ada celetukan senada “untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Toh kamu perempuan” yang biasanya bergandengan dengan “tidak perlu antusias dengan pekerjaan” yang lagi-lagi diikuti dengan alasan kolot “karena kamu perempuan”. Nyatanya dalam bagian hidup yang lain, saya sering mendengar dan melihat rumah tangga yang terbantu secara finansial oleh penghasilan istrinya, juga sering kali saya dapat testimoni dari teman-teman tongkrongan yang merasakan cipratan positif dari pendidikan orang tuanya termasuk ibunya. Itu hanya sebagian kecil dari sepanjang penglihatan saya, belum hasil riset yang menunjukkan sekian angka-angka terkait hal itu. 

    Tidak berhenti di situ, masih ada hal ini. Sebagai anak kuliahan yang bergelut dengan aktivitas organisasi kampus, pulang larut malam jelas sering terjadi. Orang tua saya komplain, bukan masalah kegiatannya, tapi masalah pulang larut malamnya. Alih-alih memberi perhatian yang menenangkan “jangan pulang tengah malam, nanti waktu istirahatnya kurang”, malah yang diperhatikan isi kepala tetangga “jangan pulang tengah malam, tidak enak sama tetangga” yang jelas diikuti lagi dengan alasan koentji “karena kamu perempuan”.

    Setelah galau mempertanyakan segala tuntutan-tuntutan dan larangan-larangan itu dalam kepala saya sendiri, kemudian terperanjat untuk berusaha menjajaki berbagai sudut pandang, dari perspektif sosial sampai perspektif agama. Di situlah saya menemukan berbagai pemikiran mengenai perempuan. Mulai dari tokoh pahlawan, seperti pemikiran-pemikiran R.A. Kartini yang melawankan ketimpangan gender bangsa ini. Figur publik atau aktivis mumpuni yang selalu berkoar-koar akan realisasi kesetaraan dan kesalingan dalam relasi apapun. Sampai agamawan cendekia yang bahasannya menyoroti kajian agama terkait perempuan.

    Pada akhirnya, saya disadarkan oleh Ibu Nur Rofiah–selaku dosen tafsir keadilan hakiki perempuan–bahwa konsep hidup yang memberi segala tuntutan dan larangan tadi ke dalam diri setiap perempuan, karena adanya sistem patriarki yang mencekoki kita, sehingga perempuan mengalami ketidakadilan hanya gara-gara menjadi “perempuan” melalui pengalaman sosial yang dialaminya: stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.

    Saya sebagai perempuan–mungkin juga perempuan lain–tanpa bermaksud egois, juga mau hidup dengan memakai bentukan pakaian pilihan sendiri, membereskan pekerjaan rumah untuk kenyamanan sendiri, sekolah atau tidak karena kemauan sendiri, bekerja atau tidak atas keputusan sendiri, tidak pulang larut malam karena kesadaran diri sendiri atau melakukannya jika ada tanggung jawab di luar yang belum beres, melakukan segala hal yang tidak merugikan orang lain sesuai keinginan sendiri, dan menghindari hal tertentu atas pertimbangan dari diri sendiri, tanpa dibayang-bayangi alasan pengikut “karena kamu perempuan” yang sungguh memuakkan.*

    *Penulis

    Fatmache, yang hobi mengopinikan pengalaman kegalauan. Menongkrong virtual di akun Instagram: ftmache dan mengoceh di akun Twitter: @ftmache. 

  • You might also like