seseorang menulis untuk keluar dari aku
(Afrizal Malna, “alat pembuka” dalam Berlin Proposal, 2015)
Kumpulan
puisi Iin Farliani, Usap Matamu dan
Ciumlah Dingin Pagi (Basabasi, 2022), berisi 50 puisi. Dalam pembacaan
cepat memang tampak, sebagaimana yang ditulis Iin pada sampul belakang buku,
bahwa “puisi-puisi dalam buku ini menghimpun suara seorang perempuan belia”. Namun,
sebetulnya, tidak sepenuhnya begitu.
Pertama,
dalam sebagian besar puisi, terdapat perbedaan antara “yang menyuarakan” dan
“yang disuarakan”. Perbedaan itu timbul sebagai konsekuensi logis dari struktur
teks, dan terlihat terutama dari penggunaan pronomina persona “ia”, yang
menunjukkan subyek “yang disuarakan”, dan pronomina persona “aku”, yang
menunjukkan subyek “yang bersuara”.
Kedua,
puisi-puisi dalam buku ini cenderung berurusan dengan waktu (khususnya waktu
esensial) ketimbang dengan ruang, yang biasanya melahirkan puisi-puisi tentang
suatu tempat atau puisi perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Waktu
esensial saya sebut untuk membedakannya dengan waktu eksistensial, yakni waktu
yang diberi tanda, baik berupa angka maupun nama (misalnya unit berupa detik,
menit, jam, dan seterusnya, maupun nama-nama hari dan bulan, serta angka tahun),
sementara waktu esensial sendiri adalah waktu yang keberadaannya ditandai oleh
perubahan. Bahwa puisi-puisi dalam buku ini berurusan dengan waktu esensial
terlihat dari bukti bahwa tak satu pun nama hari atau petunjuk angka waktu yang
dipakai, sedangkan petunjuk berupa fitur yang menandakan perubahan (misalnya
“malam” atau “pagi”) banyak dipakai.
Dengan dua poin di atas, puisi-puisi dalam
buku ini dapat ditilik dalam kerangka hubungan antar-subyek (antara “yang bersuara” dan “yang
disuarakan”) dalam kaitannya dengan waktu esensial.
Mari kita
lihat puisi pembuka, “Dara” :
Dara
dara baru lahir dari
kuncup bunga
bertemu sisa cerita
yang akan habis
kebenarannya
dara memasuki dunia
penuh gurauan
isinya mengada-ada
dara menunjukkan
kejelitaan padat
ranumnya
bibir! dada! rambut
bagai pasir, kerlingan mata!
dara dipetik sarinya.
dibawa berhamburan ke udara
juga membawa terbang
si pejantan
penghisap sari
terakhirnya
Dalam
puisi ini yang bersuara bukanlah si “dara” melainkan subyek lain yang
menyuarakan (nasib) si “dara”. Subyek lain ini berada dalam dimensi waktu yang
berbeda dengan si “dara”, sebab ketika si “dara” baru lahir subyek lain ini
sudah tahu bahwa si “dara” akan bertemu dengan sisa cerita yang akan habis kebenarannya. Kata “sisa” dan “akan”
berada dalam dimensi waktu yang berbeda, sebab “sisa” menunjukkan “sudah”
sedang “akan” menunjukkan “belum”.
Kata “sisa”,
dengan berbagai variasinya, sering dipakai dalam buku ini. Misalnya: ia tak dapat mengurung berkat/yang
tertinggal di bekas tidurnya (“Pagi” hal.8), ia mengira cahaya pagi adalah kaca malaikat/yang tertinggal saat mereka
sibuk menabur berkat (“Puisi Pagi Hari” hal.9), lampu langit-langit memanjangkan malam/tapi ia hanya kenal lusuhnya
(“Bertengkar dengan Waktu Tidur” hal.17), menyemat
hari/yang menggigil/mencintainya sebagai noda (“Hari Mencuci” hal.30), masih saja ada gema sisa/tiap melihat
pantalon di meja (“Hari Menyetrika” hal.31), ia juga merendam nasi, yang tersisa/dengan air mata (“Dapur”
hal.32), apakah itu sisa nitrat/atau busa
yang memberi bahasa: (“Akuarium” hal.40), dan seterusnya. Sementara, puisi
“Dara” sendiri, disusun secara kronologis dengan suatu pola repetitif: “dara
baru lahir”, “dara memasuki dunia”, “dara menunjukkan kejelitaan”, “dara
dipetik sarinya”. Perhatian kepada yang sisa-sisa, serta pola kronologis menunjukkan
bahwa puisi ini memang berurusan dengan waktu esensial.
Kemudian,
kita lihat pula, bagaimana subyek “yang bersuara” menghadirkan subyek “yang
disuarakan”, dalam puisi “Dara”, sebagai suatu entitas yang tragis. Memang, di
dalam waktu esensial kehidupan manusia itu tragis, sebab manusia tahu bahwa
suatu hari dirinya akan mati. Pengetahuan tersebut melahirkan motif bagi
manusia untuk menciptakan makna dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: untuk
apa ia ada, dari mana ia berasal, dan ke mana ia akan pergi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada gilirannya mengarahkan manusia kepada
pertanyaan yang lebih eksistensial: siapakah aku?
Dalam buku ini pertanyaan tersebut ditegaskan
dalam puisi “Pagi” (hal.8): ia lelah
menyusun lagi gerak/baru mencari: siapa sebenarnya aku ini. Strategi teks
yang menyusun baris ini memendarkan ketaksaan. Kata “aku” bisa saja merujuk
“ia”, kalau kita menyusuri struktur komunikasinya. Namun, apabila kita
melibatkan tanda, tak adanya tanda kutip pada baris siapa sebenarnya aku ini (yang tak mungkin ditampik sebagai kalimat
langsung dan menunjukkan yang bersuara memang adalah “ia”) lebih menunjukkan
bahwa “ia” bukanlah “aku”. Artinya, “ia” yang disuarakan oleh “aku” sedang
mencari siapa sebenarnya “aku” yang bersuara. Ini motif pertama puisi-puisi
dalam buku ini; “ia” (yang eksistensial) sedang berupaya mencari “aku” (yang
esensial).
Upaya yang
eksistensial untuk mencari yang esensial muncul terus-menerus, sampai ke momen
katarsisnya, yakni dalam puisi “Dikau Sajak” (hal.47). Simak bait pertama:
titik tinta menyala
pada derita di kata pertama
sebelum bersambung menjadi bentuk aku
segala hanya petikan yang melepas diri.
Bait ini
menunjukkan bagaimana aku terbentuk, yakni melalui “derita” dan
“kata”. Sebelum sang aku terbentuk,
semuanya cuma petikan, artinya semuanya cuma pronomina persona lain (kau, kita,
kami, ia) yang kenyataannya juga dipakai dalam sejumlah puisi dalam buku ini.
“Derita”
dan “kata” adalah dua fitur penting dalam puisi “Dikau Sajak”. Derita semacam
apa yang dimaksud? Kata “derita” sendiri cuma muncul empat kali dalam buku ini,
tapi hal-hal lain yang mengasosiasikan derita bisa dibilang muncul di semua
puisi (misalnya “lelah”, “airmata”, “ratapan”, “luka”). Bila ditilik lebih
lanjut derita itu sangat berhubungan dengan keberadaan subyek di dalam waktu
esensial, dan derita keberadaan di dalam waktu esensial tak lain adalah derita
pengulangan. Ini, misalnya, tampak dalam puisi yang menjadi judul buku:
Usap Matamu dan
Ciumlah Dingin Pagi
usap matamu dan ciumlah dingin pagi
yang telah menghidupkanmu berulangkali
setelah kau mati
di ranjang tidur yang menyimpan
kemalangan.
Berbicara
tentang pengulangan, saya langsung ingat Sisyphus, yang oleh Albert Camus
diterakan sebagai alegori bagi absurditas manusia. Dalam buku ini sosok
Sisyphus muncul dalam puisi “Dongeng Tentang Guntur” (hal.25):
sejak itu ia tersuruk di meja kerja
sadar bahwa ia telah dewasa
menerka dongeng untuk dirinya:
barangkali batu itu milik Sisyphus
dan ia tak kuasa menolongnya.
“Ia” tak
kuasa menolong Sisyphus, sebab “ia” sendiri bernasib serupa, terjebak dalam
pengulangan, meskipun dalam puisi “Kamar” (hal.12) ada tersurat suatu
cita-cita: menjadi rahasia, berada di
seberang/terpisah dari daur hidup yang berulang, tapi derita pengulangan
itu makin tak teratasi seperti tampak dalam puisi “Fosil” (hal. 59): mulanya adalah raja/berakhir
budak/melingkar-lingkar/demi lahir lagi. Di dalam derita pengulangan,
bahkan perpisahan tak berarti apa-apa, seperti tampak pada puisi “Apakah Arti
Kata Ini, Saudaraku” (hal.58) :
tak perlu berseru lagi saudaraku:
”dadaah! dadaah!
sebab kakimu senantiasa berkelok-kelok
di jalan lapang.
Lantas
bagaimana mengatasi derita pengulangan itu?
Apabila
fitur “derita” merujuk kepada yang esensial, maka fitur “kata” merujuk kepada
yang eksistensial. “Kata” adalah cara
mengatasi “derita”. Bagaimana “kata” bisa mengatasi “derita” tak lain adalah
dengan pergulatan dengan kata itu sendiri. Frasa “meja kerja” dalam puisi
“Dongeng Tentang Guntur” adalah tanda yang mengarahkan kepada suatu pergulatan
dengan kata. Tengok tanda lain soal pergulatan dengan kata itu dalam puisi
“Pada Kata” (hal.46).
Pada Kata
pada kata yang
terpendam:
barangkali kesenangan
ini serupa serangga
berputar pada neon
dan di cahaya pagi,
ia minta pertolongan
barangkali aku lupa
diri, mencandu kesenangan
tanpa ingat kembali,
kemanusiaan yang minta
dikaji dan tersaji
pada kata yang akan
dituliskan
Puisi ini
menunjukkan suatu pergulatan antara “mencandu kesenangan” (suatu tindakan
eksistensial) dengan kemanusiaan yang minta dikaji (suatu tuntutan esensial).
Puisi ini menggambarkan dengan baik pergulatan tersebut, lewat metafor serangga
yang berada di antara gravitasi “yang eksistensial” (“neon”) dan yang esensial (“cahaya
pagi”); meskipun serangga itu berputar pada neon, ia tetap minta pertolongan
kepada cahaya pagi. Ia tak bisa menghindar dari yang esensial, meskipun berputar
pada yang eksistensial. Situasi itu adalah metafor bagi pergumulan dengan kata.
Lalu subyek
macam apakah yang bergumul dengan “kata” untuk mengatasi “derita”? Pastilah
subyek tersebut berhubungan erat dengan “kata”, dan tak ada subyek lain yang berhubungan
erat dengan kata melebihi subyek
penyair. Subyek penyair muncul dalam puisi yang juga berjudul “Penyair”
(hal.41):
Penyair
di kesunyian ia
bangkit berdiri
pada kakinya yang
tabah
dan takkan menyerah
menulis kata
tanpa terlihat noda
darah
Baris tanpa telihat noda darah, sejalan dengan
frasa mencandu kesenangan pada puisi
“Pada Kata”. Namun, terlihat perbedaan posisi “yang bersuara” dan “yang
disuarakan” dalam puisi “Penyair” dan puisi “Pada Kata”. Pada puisi “Penyair”
digunakan pronomina persona “ia”, sedang pada puisi “Pada Kata” dipergunakan
pronomina persona “aku”. Artinya apa yang disuarakan tentang “ia” pada puisi
“Penyair” tetap masih berupa pergumulan ketika disuarakan oleh “aku” pada puisi
“Pada Kata”. Pergumulan itu melahirkan suatu pernyataan yang rumit, seperti
tampak pada puisi “Kata” (hal. 45).
Kata
bila mungkin kau kutinggalkan
elok rupa kudapatkan
sebagai ganti dari
sumsumku
yang hilang
“Aku”
tampaknya tak mungkin meninggalkan kata, tapi jika itu mungkin maka “aku” akan
mendapatkan rupa yang elok, tapi itu cuma sekadar ganti dari sumsumnya yang
hilang. Sumsum adalah tempat darah diproduksi, sedangkan darah adalah unsur
paling penting yang membuat seseorang hidup. Pernyataan dalam puisi ini sejalan
dengan cita-cita “terpisah dari daur hidup yang berulang”, dalam puisi “Kamar”
yang sudah dikutip di atas.
Memilih
“kata” sebagai cara mengatasi “derita” sama dengan bergumul dengan yang
eksistensial untuk mengatasi yang esensial. Ini menjadi motif kedua puisi-puisi
dalam buku ini. Apabila yang esensial merujuk kepada “manusia” maka yang
eksistensial merujuk kepada “penyair”. Dengan begitu, memilih “kata”, secara
logis juga berarti mengatasi manusia, atau ketergantungan kepada manusia. Sebab
jika bergantung kepada manusia (artinya bergantung kepada yang esensial) apa
yang akan ditemukan hanya kesia-siaan, seperti ditampakkan pada puisi “Di Ujung
Itu” (hal. 57).
Di Ujung Itu
tak bisa bergantung seutuhnya
pada manusia
kita kerap lupa, butuh tujuan
--sendiri—
bila ditemukan
benar di ujung itu
kekekalan: kesia-siaan mimpi
Mengapa
kita tak bisa bergantung seutuhnya kepada manusia, atau kepada yang esensial?
Tak lain karena yang esensial adalah pengulangan semata, dan pengulangan sama
dengan klise. Karena itu tak ada yang lebih klise dari yang esensial, dan untuk
mengatasi klise itu dibutuhkan pergumulan eksistensial. Bukankah
pengejawantahan untuk model seperti ini sesungguhnya terjadi dalam hidup
sehari-hari? Waktu terus berulang, pagi ke malam ke pagi lagi, dan di antara
itu kita berusaha melakukan hal yang berbeda-beda, menyusun rencana,
bercita-cita, dan berharap.
Dua motif puisi-puisi
dalam buku ini jadi tampak berbelit punggung: pencarian yang eksistensial atas
yang esensial sekaligus pergumulan yang eksistensial untuk mengatasi yang
esensial.
Kedua motif
ini turut pula membangun strategi pengucapan, yang berhasil menghindarkan puisi
dari klise. Bagaimana bisa begitu? Kembali ke puisi “Dara” sebagai contoh. Kita
lihat sesungguhnya yang bersuara dalam puisi ini adalah yang esensial, atau
“subyek yang esensial”, sedangkan yang disuarakan adalah dara, “subyek yang
eksistensial”. Dengan strategi pemisahan subyek tersebut, puisi mencegah yang
esensial menyuarakan dirinya sendiri, yang sudah pasti akan menjebak puisi ke
dalam total klise.
Oleh karena strategi tersebut kerap dipakai, sementara motif yang muncul adalah pencarian yang eksistensial atas yang esensial sekaligus pergumulan yang eksistensial untuk mengatasi yang esensial, timbul suatu situasi absurd: sang subyek terus menerus mencari yang klise justru untuk menghindar darinya. Absurditas, seperti yang sudah sering dibicarakan orang, adalah tema pokok dalam eksistensialisme.
Kalau saya
keluar dari teks puisi dan menengok penyairnya, saya bertanya-tanya dari mana
motif itu muncul? Tentu saja saya tidak tahu pasti. Namun, saya kira faktor
bacaan cukup berperan, dalam hal ini memoar Jean Paul Sartre, Le Mots, dan Mitos Sisyphus dari Albert Camus. Keduanya sama-sama dikenal
sebagai sosok penting dalam pemikiran filsafat eksistensialisme. Jika benar
begitu, tak heran, puisi-puisi dalam kumpulan Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi, cenderung bernuansa filosofis,
sesuatu yang nantinya mulai ditinggalkan oleh Iin Farliani, sebagaimana tampak
dalam puisi-puisinya yang kemudian.*
Kiki Sulistyo, bekerja di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.