• Kekalahan-Kekalahan dalam Novel Aib dan Nasib


     

    Memulai halaman pertama novel Aib dan Nasib adalah pengalaman menjebak diri masuk  ke satu desa bernama Tegalurung. Dimulai dari pertemuan tiba-tiba Boled Boleng dan Bagong Badrudin di kuburan, dilanjut dengan Marlina yang mati karena kabar di ujung telepon dari Singapura sana, saya kelabakan. Ada apa ini sebenarnya? 

     

    Sebagai yang jarang membaca tulisan fiksi, saya baru pertama kali menemukan novel dengan gaya penceritaan seperti ini: alur maju mundur, pembagian rumpun tokoh ke dalam cerita episodik, ditambah dengan nama beberapa tokohnya yang sekilas mirip, mengajak saya untuk berlatih awas dengan segala ketiba-tibaan yang hadir di lembar demi lembarnya.

     

    Saya juga betah untuk mengurai kebingungan akan konflik para tokoh ciptaan Minanto, di sana sini. Saya suka dengan kesempatan memilah dan menghubungkan kisah rumpun tokoh ke dalam beberapa bagian untuk menjadi satu kesatuan yang terhubung dengan satu sama lain. 

     

    Rupanya, setelah tiba di babak kedua novelnya, saya pelan-pelan terbiasa dengan alurnya. Setelah episode rumpun Boled Boleng, Bagong Badruddin, Susanto, dilanjutkan dengan rumpun Marlina, Nurumubin, Pang Randu, Godong Gundu, dan Eni, setelahnya rumpun Mang Sota, Yuminah, Uripah, dan Duloh, Terakhir Rumpun Gulabia, Kartono, Kicong. Dan beberapa tambahan tokoh seperti Kaji Basuki, dan Inem jadi ekosistem cerita yang patut disaksikan.

     

    Hingga halaman terakhir, sulit menemukan siapa antagonis atau protagonisnya. Saya bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan siapa itu. Rangkaian kalimat berisi berbagai akibat-akibat peristiwa terasa seperti cipratan api yang sumbernya tergeletak di sana sini. Setiap rumpun cerita yang saling berkejaran mendapatkan porsi masing-masing satu lembar. Saya seperti diguyur rasa penasaran karena berusaha mengumpulkan porsi-porsi itu segera. Sampai tuntas! 

     

    Apa Bedanya Desa dan Kota? 

     

    Melalui cerita setebal 263 halaman, Minanto menyajikan Tegalurung sebagai sebuah desa yang tidak ada romantisnya sama sekali. Beda dengan kesan romantis desa yang sering ditampilkan festival buatan pemerintah atau yang sering tampil di video kampanye politik, ia hanya beberapa kali menyebutkan sawah, ladang dan latar lokasi. 

     

    Dalam episode hidup Gulabia, gadis muda yang harus menikah dengan Kartono, supir angkot yang sering mengantarnya ke sekolah tersebab kasus video porno, (selengkapnya baca novelnya ya), ia digambarkan mirip dengan nasib banyak perempuan di desa: menerima pukulan, tamparan, makian juga uang belanja yang selalu kurang. Ketika ia ingin kembali ke orang tuanya, bapaknya, Sobirin yang adalah seorang pendakwah hanya meminta anaknya untuk kembali ke suaminya, dan mengatakan bahwa begitulah memang hubungan rumah tangga. Sebagai istri, ia harus berserah pada suaminya. Belum lagi ketika Bapak Sobirin menagih Gulabia uang yang ia utang selama ini meskipun ia sudah memohon bahwa uang dari Kartono tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari. 

     

    Sebagai pembaca, hal yang idealnya saya inginkan terjadi di akhir kisah Gulabia adalah, Bapaknya bersedia menerima Gulabia kembali dan tidak menagih uang ke anaknya sendiri. Tapi, tidak. Penulis membeberkan bahwa tidak semua orang tua dan anak bisa saling menolong. Simpati hanya milik orang-orang yang sudah punya cukup uang. Boro-boro memikirkan anaknya, Pak Sobirin yang adalah pendakwah yang hanya bisa dapat uang dari khutbah bahkan tidak bisa melepaskan anaknya dari kekerasan rumah tangga, karena hidup sehari-hari bersama istri sudah susah.

     

    Lain pula yang terjadi pada episode hidup Mang Sota, tukang becak yang anak perempuannya (Uripah) dengan keterbelakangan mental hilang entah kemana, dan dia harus merawat cucunya (Dulah).  Pada suatu waktu, Dulah menangis sepanjang hari dan dinding reot gubuknya tidak bisa menahan tangis si balita. Setelah beberapa jam duduk di depan rumahnya sambil meringis mendengar tangisan si cucu, Mang Sota menyaksikan tidak ada satu pun tetangga yang lewat di depan rumahnya untuk sekedar bertanya apa gerangan yang terjadi pada mereka.

     

    Sampai si Dulah mati karena jatuh di selokan, Mang Sota memilih meninggalkan jenazah cucunya karena pergolakan imajinasinya bahwa ia bahkan tidak sanggup meminta tolong dua orang yang lewat di depan rumahnya untuk menggali kubur sedalam 3 meter untuk karena di rumahnya ia hanya mampu menyuguhkan air putih dan membeli sebungkus biskuit untuk menjamu mereka. Membayangkan itupun menjadikannya bergidik dan akhirnya memutuskan untuk mengayuh becaknya dan melupakan Tegalurung. Mungkin, jika kita bayang-bayangkan yang terjadi di Tegalurung, orang-orang akan menangisi Duloh dan menyalahkan Mang Sota sebagai kakek yang tidak punya hati dan bertanggung jawab. Tapi, begitukah yang Mang Sota sebenarnya bayangkan atas nasibnya? 

     

    Kenyataan-kenyataan yang dihadirkan novel ini banyak melempar saya ke ingatan akan pengalaman hidup di desa sendiri. Desa yang tidak ada lagi sawah atau perkebunan bersama. Bahkan pohon mangga di pekarangan rumah pun sudah sukar ditemukan. Di sana juga terjadi Pernikahan Dini, Kecanduan Facebook, Caleg, TKW, juga anak dengan Keterbelakangan Mental. Saya jadi curiga, jangan-jangan yang digambarkan novel ini adalah tema dari kehidupan di desa-desa yang ada saat ini? Setiap tokoh yang digambarkan sibuk dengan urusan hidupnya sendiri-sendiri. Mereka tidak punya waktu memikirkan apa yang akan dikatakan orang lain atas hidupnya, atau peduli apa yang terjadi pada tetangga sekitarnya? 

     

    Gulabia dan Mang Sota adalah dua bagian dari nyaris seluruh tokoh dalam Aib dan Nasib yang sibuk dengan nasib masing-masing. Hanya ada sedikit sekali kalimat yang menggambarkan pikiran atau tindakan tokoh yang peduli dengan omongan orang lain atas hidup mereka. 

     

    Meskipun ada ada tokoh Yuminah, tetangga yang selalu membantu Mang Sota merawat Uripah dan Dulah, pada halaman lainnya ditampilkan dialog Yuminah yang juga sebenarnya tidak sebegitu baiknya juga, karena dari obrolannya, ada kalimat yang mengatakan bahwa andai bisa mengangkat rumahnya, dia akan pindah karena tidak tahan dengan keluarga Mang Sota.

     

    Saya jadi teringat penggalan, “Malah aku heran, kenapa TV-TV tidak datang ke Tegalurung buat siaran berita. Padahal kukira setiap hari pastilah ada berita kriminal, apalagi di Tegalurung. Tidak pagi tidak siang tidak malam,” Kriminalitas yang acapkali saya dengar terjadi di kota-kota besar, sebenarnya juga terjadi dalam bentuk lain di desa. Yang bedakan, di kota banyak media, di desa masih kurang. 

     

    Atau jangan-jangan memang sekarang ini, tidak ada bedanya kehidupan di desa dan di kota?  Di desa, modernitas juga berlangsung begitu cepat. Sayangnya tidak dibarengi dengan akses pengetahuan agar warganya siap untuk itu. 

     

    Kekalahan-Kekalahan Para Tokoh


    Perasaan terjebak tapi tidak menginginkan diri keluar dari potongan-potongan cerita yang sama nelangsanya, bikin novel ini begitu menyesakkan saya selama sepekan terakhir. 

     

    Setelah selesai, saya membaca beberapa ulasan yang memberikan banyak definisi dan istilah terhadap konflik yang ditanggung para tokoh. Misalnya kenakalan remaja berupa pacaran dan hubungan seksual yang dilakukan Gulabia yang menyebabkan ia harus berhenti sekolah dan terjebak pernikahan diri. Atau juga Uripah, yang hidup dengan keterbelakangan mental karena dibesarkan tanpa sosok ibu dengan ayah yang harus mengayuh becak setiap hari demi seliter beras. Atau mungkin juga pilihan hidup Eni yang harus merantau ke Singapura meninggalkan Marlina dan tidak ada kabar sampai ia menggugah foto Facebook dengan laki-laki dan mendapat cercaan warga Tegalurung yang berteman dengannya.

     

    Nelangsa yang berkelindan antar tokoh, berpikir agak lama tentang Aib dan Nasib yang dipilih jadi judul novel ini. Saya bahkan tidak tega menyebut dan mengkategorikan tindakan-tindakan para tokoh ke dalam istilah agama dan pemerintah. Ini karena saya mendapati juga secara acak, Minanto membeberkan sebab musabab para tokoh menjadi demikian. Dengan tidak bermaksud menggeneralisir kekhasan konflik tiap tokoh, bagi saya, seluruh episode tokoh sekilas terjadi karena ketiadaan akses akan pilihan hidup. 

     

    Mungkin, judul Aib dan Nasib mengacu pada dua posisi. Ia menjadi aib bagi seseorang yang membaca atau melihat tindakan para tokoh yang sekilas memang mudah untuk dijustifikasi karena tidak sesuai dengan nilai dan norma umum yang mengakar di masyarakat. Sedangkan nasib mengacu pada posisi setiap tokoh terhadap apa yang mereka lakukan pada hidup mereka. Tindakan yang dilakukan atas dasar ketiadaan pilihan atas hidup atau juga akses pengetahuan untuk memilih. 

     

    Kita bisa saja dengan mudah menyimpulkan bahwa Gulabia patut menangung nasib jadi istri ketiga karena dia masih SMA dan sudah indehoi dan tidak sadar sedang divideo oleh pacarnya sendiri. Tapi, apakah kita berhak menyimpulkan seperti itu jika Gulabia bahwa tidak punya akses pengetahuan bagaimana cara berpacaran yang sehat?  

     

    Seseorang bisa memilih kalau dia punya pilihan. Kita bisa memilih jika kita punya akses terhadap pilihan. Kita bisa punya akses jika kita punya pengetahuan akan pilihan-pilihan itu. Tapi, di Tegalurung, para tokoh-tokohnya terbait dalam ekosistem hidup sehari-hari yang beginilah adanya. Saya melihat bahwa Minanto tidak menyajikan sedikit pun pertimbangan agama dan negara pada tindakan para tokohnya.  Sehingga saya merasa tidak punya hak melekatkan definisi atau istilah yang politically correct khas agama dan negara dari tindakan mereka. Mungkin juga memang negara dan agama adalah hal yang masih jauh dari Tegalurung. 

     

    Keputusan Minanto menjadikan fragmen cerita tetap acak dan tidak selesai dengan pertobatan atau kebahagiaan menjadi poin plus. Beberapa tokoh diselesaikan dengan mati ditabrak mobil, merantau ke luar negeri, kabur, dan ada juga yang tetap melanjutkan kenelangsaannya seperti Gulabia. Ia konsisten tidak memasukan unsur-unsur nilai, dan tafsiran moral masyarakat yang umum hadir layaknya  FTV indosiar yang Ibu saya selalu tonton. Tapi, melihat seluruhnya sebagai kronologi yang terus menerus berlangsung. Ya, persis kayak hidup. Berlangsung terus, meskipun di beberapa bagiannya ingin kita hapus dan akhiri saja. 

     

    Novel ini meskipun tidak tebal-tebal amat tapi tidak ada habisnya untuk terus diceritakan. Saya merasa  sedang menonton kekalahan-kekalahan orang lain sampai akhir dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dan sampai akhir pun, saya tidak tahu harus merekomendasikan novel ini dibaca atau tidak. 

     

    Secara fisik, saya masih bingung, kenapa di sampulnya pakai daun pisang? dan sampul kedua yang baru selesai cetak juga menunjukkan seorang pemuda yang memeluk batang pisang? Setelah membaca, saya mengimajinasikan sampul novel ini justru berisi ikon-ikon seluruh tokoh yang diceritakan. Tapi tentu imajinasi tiap orang berbeda dan tidak ada paksaan untuk itu. Di beberapa halaman juga masih ada kata yang lagaknya lupa dihapus. 

     

    Tapi lebih daripada itu semua, Aib dan Nasib menjadi salah satu fiksi yang akan tertinggal cukup lama di pikiran saya. Saking tertinggalnya, selepas saya tuntas membacanya, saya tidur dan Gulabia dan Boled Boleng terbawa sampai ke mimpi.*


    *Penulis

     Wilda Yanti Salam, belajar dan bekerja di Tanahindie, dan saaat ini bersenang-senang       menuliskan makanan & dapur di Memodapur. 

  • You might also like