Dalam buku Traveling to Invinity (2015),
Jane Hawking dengan sangat menarik, cerdas, dan menyentuh, menuliskan kehidupan
rumah tangga bersama fisikawan Stephen Hawking. Pada kalimat-kalimat yang
tampak tenang, kisah Jane justru menjadi pergolakan untuk memilih berkeluarga
sebagai kepuasan kreatif tanpa kehilangan jati diri intelektual. Bagi Jane,
tidak ada yang lebih rendah antara mengganti popok-mengurus meja makan ataupun
berkutat dengan teks-teks abad pertengahan.
Stephen mengidap penyakit saraf motorik parah yang
bahkan tidak bisa membuatnya mengurus diri. Meski raga ditopang oleh mesin,
kegeniusan Stephen sama sekali tidak terganggu untuk menentukan masa depan ilmu
pengetahuan. Hampir segala urusan rumah tangga ditangani Jane. Di antara rasa
pasrah, satire, dan kelakar, Jane mengatakan, “Hari-hari ketika Stephen
sekali-sekali membantu mencuci sudah lama berlalu. Penyakitnya membuat dia
mustahil membantu mengurus rumah, karena dia tak bisa bekerja praktis lagi.
Keuntungan baginya, kelumpuhannya membuat dia punya punya waktu tak terbatas untuk
mendalami fisika yang disukainya, dan aku menerima itu, karena aku tahu dia tak
bakal mau teralih oleh hal-hal duniawi seperti memasak, mengurus rumah, dan
mengganti popok, apa pun keadaannya.”
Tanpa perlu menjadi pemikir besar, siapa pun tahu
bahwa kesuksesan menjadi bapak atau ibu, tidak akan pernah diganjar oleh medali
atau gelar kehormatan. Pada 1978, Stephen menerima gelar doktor kehormatan dari
Oxford, tapi Jane tidak bakal menerima penghargaan apa pun untuk prestasi
mengganti popok atau memasak. Lembaga elite intelektual sekaliber Cambridge
saat itu, menempatkan para istri kaum cerdik-pandai sebagai warga kelas dua.
Istri yang juga ibu ini berupaya dalam capaian akademis, sedangkan suami sangat
tidak perlu bersaing untuk setara dalam urusan anak, perpiringan, atau
perpopokan.
Kesetaraan memang vokal dan aktual meski arahnya
selalu ke luar, bukan ke dalam (domestik). Banyak ibu rumah tangga, tapi
laki-laki pasti risih menyebut diri “bapak rumah tangga”. Perempuan
memperjuangkan peran di luar rumah. Laki-laki bahkan tidak pernah capek
berpikir emansipasi di dalam rumah. Pekerjaan rumah tangga seolah
dipakemkan karena takdir biologis perempuan hamil dan melahirkan. Sebaliknya,
karena pola asuh, sistem pendidikan, tata sosial, sekaligus interpretasi agama
sangat mendukung laki-laki, sejak dulu mereka ada “di mana-mana” kecuali di
rumah.
Cuti Menjadi Bapak
Penyair Cyntha Hariadi (2016) dengan sangat
personal menerjemahkan peran dominan ibu di rumah dalam puisi berjudul “Jarak”.
Terutama karena tugas laktasi, ibu harus sering berada di rumah dekat dengan
anak. Dekat dalam arti harfiah ataupun emosional. Bapak lebih sering berjarak
karena tugas eksternal untuk menyokong keperluan keluarga. Cerap, …
Ingat ayah mengumpulkan jerami supaya kita tidak kehujanan,/ ibu bernyanyi di
telingamu?/ Ingat ayah menggantung ayunan di antara kedua pohon kelapa,/ ibu
memegangi tanganmu supaya kau tidak jatuh?/ Ingat ayah memahat seorang anak
perempuan dari kayu,/ ibu menepoki pantatmu sampai kau tenang?/ Ingat ayah
menatap bulan,/ ibu menatap matahari?/ Ingat ayah merindukan kita dari amat
jauh,/ dan ibu kerap memarahimu karena terlalu dekat?
Kesan jauh dilekatkan pada ayah lewat benda-benda;
jerami, ayunan, alas tidur, boneka kayu untuk memediasi hubungan yang nyaris
tanpa interaksi ketubuhan. Sebaliknya, interaksi dengan ibu sangat dimediasi
oleh tubuh; suara, sentuhan, bisikan-nyanyian, tepukan di pantat. Bahkan,
kemarahan terdengar istimewa asal di dekat ibu. Imajinasi jarak ini masih
ditemukan dalam rumah tangga tradisional, seperti di kebudayaan Jawa.
Franz Magnis-Suseno (2001) mengatakan keluarga
adalah sumber kenyamanan dan suka cita jasmani-rohani, segala kebaikan
diberikan serta keburukan dimaafkan. Ibu selalu bisa dicintai, tapi ada jarak
yang harus disadari seorang bocah dalam melihat bapaknya atau sebaliknya.
Semakin anak sadar posisi sebagai bagian dari dunia luar, bapak akan merasa
jauh dan bahkan siap menerima hal ini sebagai konsekuensi logis. Sebaliknya,
anak pun harus mulai menghormati bapak dalam suasana emosional yang cenderung
kaku.
Memang kesetaraan pendidikan, pola asuh modern,
kebijakan publik, dan jelas komitmen yang dijalani bersama mulai melonggarkan
pakem. Hal ini mengingat pada kebijakan krusial yang terjadi di Jepang. Menteri
Lingkungan Jepang Shinjiro Koizumi memutuskan mengambil cuti dua minggu untuk
menjadi bapak usai kelahiran anak pertama. Bagi Jepang yang tengah menghadapi
masalah tingkat kelahiran terendah di dunia, keputusan Shinjiro adalah pertama
dilakukan seorang menteri. Pemerintah Jepang menargetkan cuti ayah mencapai 13
persen pada 2020 yang sejak 2018 baru tercatat 6 persen (Kompas, 18
Januari 2020).
Mengesampingkan alasan demografis, di negara
monarki seperti Jepang, momentum suami mengambil cuti mengasuh anak memang
langka. Apalagi di Indonesia, yang mengalami ribetnya cuti hamil, melahirkan,
dan mengasuh anak pasti perempuan. Tidak jarang, perempuan harus rela keluar
dari pekerjaan demi anak. Cuti yang diambil para lelaki sering bukan cuti
mengasuh anak, tapi cuti sakit, urusan keluarga, atau bepergian. Cuti menjadi
bapak kok rasanya terlalu mengada-ada. Juga, ada sistem
kekerabatan yang masih sangat erat. Saat menjadi ibu, perempuan biasanya
mendapat dukungan pengasuhan dari ibu, ibu mertua, bibi, atau bahkan tetangga.
Cuti justru mengurangi penghasilan bagi keluarga. Meski kebijakan belum
terpikirkan secara nasional, setiap kelembagaan pun merasa belum perlu
mendukung laki-laki mengambil cuti menjadi bapak.
Kita memang perlu menandai istilah “bantuan” yang
sering dipakai suami kepada istri di ruang domestik. Jelas, selama ini tidak
banyak orang meribetkan istilah bantuan. Suami lumrah membantu memberesi
pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak, bukan wajib. Tugas bekerja atau
melanglang di luar rumah yang primer, menjadi alasan suami tidak (di)wajib(kan)
lagi menyentuh rutinitas rumah tangga. Tidak jarang, ada istri yang
sangat sumringah atau berbangga saat suami “cukup mau
membantu”.
Bantuan ini pernah digugat dengan menohok ole Kim
Ji-yeong dalam novel Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 (2019)
garapan Cho Nam-joo yang sempat menghebohkan Korea dan karena difilmkan,
mendapat apresiasi pembaca-penonton Indonesia. Luka mental dialami Ji-yeong
adalah pengendapan bertahun-tahun tumbuh dalam kultur patriarki, ekspektasi
sangat tinggi terhadap anak laki-laki, dan kehidupan urban-modern yang
individualistik. Saat menjadi ibu, Ji-yeong masih harus menghadapi anggapan
publik tentang figur ibu yang ideal saat beban pengasuhan sangat dibebankan
kepada perempuan.
Jeong Dae-hyeon tidak menuntut Ji-yeong memiliki
anak laki-laki sebagai tanggung jawab moral. Karena latar pendidikan modern dan
komitmen sebagai pasangan muda yang hidup secara egaliter-fleksibel, anak
menjadi tanggung jawab bersama. Namun, Dae-hyeon tetap menggunakan istilah
bantuan sebagai janji memiliki anak. Puncaknya, ledakan rasa capek dan
frustrasi diajukan Ji-yeong, “Tidak bisakah kau berhenti mengoceh tentang
bantuan? Kamu membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak,
membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya
keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu? Lagi pula, selama aku
bekerja, memangnya hanya aku sendiri yang menikmati hasilnya? Kenapa kau
berbicara seolah-olah kau bersikap murah hati menyangkut pekerjaanku?” Laki-laki
bertanggung jawab menjadi bapak, bukan sekadar “membantu” perempuan menjadi
ibu.
”Orang Ketiga”
Di saat Jepang memulai kebijakan pengasuhan bapak
yang bisa menjalar ke negara-negara (patriarkis) di Asia dan representasi suara
Korea terwakili oleh Ji-yeong, di Indonesia justru muncul kabar ganjil dan
tidak keren. Tajuk Solopos, 22 Februari 2020, mewartakan negara
berniat menjadi “orang ketiga” dalam keluarga-keluarga Indonesia lewat
Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Pasal pembagian peran atau
kewajiban suami-istri cukup getol disorot karena tidak logis dan bias jender.
Negara tampak mengacaukan keluwesan suami-istri
berstrategi mengatur urusan di dalam rumah dan luar rumah. Di sini, lagi-lagi
kewajiban mengurus rumah tangga sangat diwajibkan kepada perempuan/ istri
dengan dalih agung keutuhan rumah tangga! Kelak, undang-undang bahkan rentan
dijadikan alasan untuk tidak mau “sekadar membantu”. Negara juga
mengabaikan kondisi darurat. Ada bapak mandiri yang karena proses evolusi tidak
mendukungnya untuk hamil, melahirkan, dan menyusui, secara pengasuhan tetap
menjadi “ibu”. Ada ibu mandiri yang tangguh karena perceraian atau kepergian
suami, secara tidak tertulis harus menjadi kepala rumah tangga.
Dalam upaya-upaya kecil, emansipasi memang harus
didorong ke rumah. Jika ada ibu rumah tangga, peran “bapak rumah tangga”
mestinya lumrah bukan untuk merendahkan martabat kelelakian dalam peran
domestik. Dan dalam upaya ini, ternyata kita tidak butuh negara yang hanya
mengembalikan pakem yang begitu dominan di masa Orde Baru. Negara justru
melanggengkan hal usang, klise, dan keliru yang pernah diajarkan lewat sekolah
zaman dulu banget bahwa “bapak (harus) pergi ke kantor” dan ibu (harus) memasak
di dapur”. Aduh!*
*Penulis
Setyaningsih, esais dan penulis Kitab Cerita 2 (2021). Salah seorang Emerging
writer di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF)2021.