Tahun 1985, seorang aktor pantonim sekaligus penulis, Howard Buten melakukan riset pada sebuah rumah psikiatri Le Centre Hopitalier Specialise de Perry Vaucluse di pinggiran Kota Paris. Ia hendak mempelajari autisme di rumah psikatri itu dengan melibatkan diri secara partisipatif: “Proyek kami akan terdiri dari sesi-sesi perseorangan, selama dua puluh menit, tiga kali seminggu, dengan tiga pria autistik. Selama sesi-sesi ini, aku akan meniru mereka”.
Hasil
penelitian ini bisa ditemukan dalam buku Dinding-Dinding
Kaca (Qanita: Jakarta, 2004) yang ditulis Howard sendiri. Sebelum melakukan
riset itu, ia melihat, “Melalui jendela... sebuah ruangan besar yang nyaris
kosong”. Di hadapan jendela, Howard sedang berhadapan dengan asumsinya sendiri,
“Di belakang sekali (tungkai-tungkaiku mulai kram karena berjinjit, tetapi aku
tidak dapat melepaskan mataku dari sumber yang sedang kubaui ini), aku melihat
bilik-bilik berkeramik putih. Di dalam bilik-bilik itu, beberapa perawat sedang
menyemproti para pria telanjang itu satu demi satu”.
Dalam
waktu singkat, adegan di hadapan jendela ini barangkali akan terlihat kejam.
Kesan yang juga sebelumnya didengar Howard—tentang staf rumah psikiatri—dari
banyak orang sewaktu ingin mengunjungi rumah psikiatri ini. Tapi kesan ini
segera saja lenyap ketika ia bertemu para staf di sana secara langsung, “mereka
siap jungkir balik demi kebaikan dan kesejahteraan pasien-pasien mereka.”
Jendela barangkali melahirkan asumsi-asumsi, sebagai fisik juga sebagai imajinasi—ruang yang kita bangun dengan cara berpikir. Ia bisa saja menyesatkan lantaran mengajak kita berhenti hanya sampai di depan “jendela” sebab kita pikir telah melihat segalanya.
Howard tak berhenti sampai di situ, ia mendeskripsikan lebih
dulu apa yang ia lihat, “ dengan bangku-bangku kayu di kedua sisi panjangnya,
itu saja. ltu saja, maksudnya, selain lima belas pria telanjang atau hampir
telanjang—delapan puluh tahun, lima puluh tahun, tiga puluh lima tahun; tak
bergigi, tak berumur, tak bernama; yang bergulingan di lantai, menatapi
jari-jari mereka, berbicara dengan diri mereka sendiri di pojok, meringkuk tak
bergerak dengan kedua tangan memeluk kepala”. Setelah itu ia “melompat” ke
dalam jendela.
Sebagai
Howard, di sisi sebelah jendela dari pasian-pasien rumah psikiatri itu, kita
juga mungkin mengalami hal yang sama. Ia tak hanya, barangkali, sebagai
pembeda. Ia juga memicu kesadaran ruang soal “yang di dalam”, sebuah ruang yang
masih sepenuhnya kita kenal-kendali. Ruang yang hanya mungkin terbuka untuk
asumsi kita sendiri: merasa privat, aman, nyaman, dan lain-lain.
Avianti Armand dalam bukunya Arsitektur yang Lain (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2017) menulis satu bab soal jendela. Menjelaskan keputusan Howard untuk “melompat” ke sisi pasian-pasien rumah psikiatri itu misalnya, “Ruang luar membuka peluang untuk keterbukaan, berbagai macam interaksi yang terduga dan tidak, ketidakterlindungan, juga kebebasan dan petualangan”.
Kesempatan untuk terhubung dengan sisi sebelah jendela selalu
terbuka, bahkan dalam kasus Howard, ia begitu tenggelam dalam peran, ”sebagai orang
autistik yang terpisah dari dunia sampai aku tidak mampu memerhatikan apa yang
dilakukan oleh para tetanggaku yang sama-sama autistik”.
Ketika
“melompat” jendela barangkali tak ada jalan kembali, atau boleh jadi kita
sedang menggabungkan beberapa jendela untuk melebarkan pengertian ruang “yang
di dalam” itu. Ada keterhubungan barangkali lewat cara berpikir. Atau seperti yang
ditulis Avianti Armand lagi, “Seseorang bisa saja berada di luar atau di dalam.
Itu berarti segala elemen bukaan seperti ambang, pintu, lubang angin, jendela,
lalu menjadi area transisi sekaligus penghubung yang tak terelakkan dari dua
dunia tersebut”.
Asumsi
kemudian perlahan menguar. Kita barangkali tidak bisa memahami semuanya
sekaligus. Tapi ketika memutuskan untuk “melompat” jendela, barangkali
sebenarnya kita sedang mendekati pengetahuan, pengalaman, atau petualangan
baru.
Di
era gempuran informasi lewat jaringan internet ini, utamanya sosial media,
lantaran banyak menghabiskan waktu dengan itu, barangkali jendela kita adalah
gawai itu. Kita mengamati, mengintip, melihat, banyak jendela-jendela. Dan kita
dengan cara yang sama, juga membangun jendela kita sendiri, dengan algoritma.
Misalnya, jendela mana yang ingin kita lihat sehari-hari, atau linimasa yang
menawarkan jendela lain lewat kalkulasi klik, like, dan comment.
Hal
ini mirip dengan yang ditulis Avianti Armand, “Dalam peristiwa visual ini,
jendela memang menjadi semacam diafragma dengan tingkat transparansi yang bisa
dikendalikan untuk kepentingan si pengintip, Tapi ada juga (kemungkinan) adegan
yang dipersiapkan oleh yang diintip. Dengan kata lain, selain menjadi penonton,
lewat jendela, orang jadi punya kesempatan untuk ‘mempertontonkan diri”. Tentu
sudah dengan format yang diedit, dipersiapkan untuk kepentingan pengamat”.
Irisan
ini barangkali tak terdengar asing. Kita setiap hari berhadapan dengan filter,
proporsi, simbol-simbol—yang mungkin cara kerjanya seperti branding. Story Instagram kita juga dipenuhi dengan
berbagai hal yang dipersiapkan dengan baik. “Hampir tak mungkin, lewat jendela,
kita memergoki seorang perempuan cantik mengupil,” tulis Avianti, “Tapi sangat mungkin
melihatnya sedang duduk manis membaca sambil minum teh”.
Yang
barangkali berbeda adalah lantaran menuntut kecepatan, internet menciptakan banyak
jendela kelihatan sama. Beberapa orang yang menyadarinya lalu membangun
jendelanya dengan cara berbeda. Mereka menampilkan kekonyolan, atau bahkan tak
seperti dugaan Avianti, mereka juga mengupil di sana. Meski masih dengan cara
yang sama, masih ada kemungkinan
segalanya dipersiapkan lebih dulu.