Judul
: Sapiens Di Ujung Tanduk
Penulis
: Iqbal Aji Daryono
Penerbit
: Bentang Pustaka
Cetak
: Pertama, April 2022
Tebal
: 159 Halaman
ISBN : 978-602-291-897-4
Melalui buku, Aku Klik Maka Aku
Ada, F. Budi Hardiman berusaha mendedah
persoalan yang selama ini kita gandrungi, berselancar di gawai sebagai bentuk
eksistensi manusia. Di era digital, eksistensi mereka bukan lagi ditentukan
melalui kemasyhuran diktum eksistensial Rene Descartes, “Aku Berpikir, Maka Aku
Ada”, diktum tersebut telah berubah menjadi “Aku Klik, Maka Aku Ada”. Pikirannya
mengerucut di jari. Ia bukan lagi yang ‘I Think’ sebagaimana yang
diperkirakan Descartes, melainkan suatu yang ‘I Browse’. Itulah ciri
mendasar Homo Digitalis.
Ada alasan kuat di balik dugaan
transisi digital-evolusioner dari Homo Sapiens ke Homo Digitalis. Kita
menyaksikan, bagaimana ponsel pintar telah menjadi eksistensi kapasitas pikiran
kita. Transisi itu bagi Rafael Capuro–Filsuf teknologi yang mengajar di
Karlsruhe, Jerman–dalam bukunya Homo Digitalis (2017), meniscayakan filsafat
kontemporer untuk memikirkan ulang ontologi, antropologi, dan etika di era
digital.
Di sisi lain, dalam Homo Sapiens
(2019), Yuval Noah Harari menjelaskan bahwa sosialitas Homo Sapiens berevolusi
berkat gosip. Ia menulis, “Bergosip sedemikian wajar bagi kita, sehingga tampaknya
bahasa kita berevolusi untuk alasan ini”. Hampir saban hari kita bersua
realitas itu di jagat virtual, dari gosip merujuk tema-tema berat hingga
remeh-temeh. Komunikasi digital memaksa
kita melakukan kebebasan untuk bergosip atas semua hal.
Berkat ‘Aku Klik’ , kita
diberi keberanian berkomunikasi yang tak terperikan. Tindakan jari itu, ampuh
mendekatkan yang jauh menjadi dekat, menjauhkan yang dekat menjadi jauh. Semua
bisa terjadi dalam satu kali ‘klik’. Evolusi komunikasi korporeal ke komunikasi
digital telah menyediakan arena kebebasan berekspresi yang masif. Berkat
kebebasan yang demikian lah, jarang ada pengawasan yang signifikan dalam
bereksistensi.
Bereksistensi bertaut hasrat untuk
diakui. Dalam pemenuhan hasrat itu, segala cara dapat ditempuh, tanpa
memikirkan implikasi sosial dan psikologis orang lain. Seorang guru merekam video
anak yang tidak bisa menghitung suatu penjumlahan dalam mata pelajaran
Matematika ketika anak yang lain pada pulang, lalu membagikan video tersebut
melalui pelbagai platform media sosial, sontak dalam hitungan menit dibanjiri
ribuan penonton dan komentar. Pada saat yang sama, si anak menonton video
dirinya yang sudah terlanjur viral.
Tak dapat dibayangkan betapa
peristiwa semacam itu akan mempengaruhi mentalitas si anak. Ia tidak lagi PD
(Percaya Diri) dan phobia dengan mata pelajaran Matematika di saat
teman-temannya yang lain mampu beradaptasi dengan angka-angka. Alih-alih
mengedukasi si anak, justru malah menurunkan semangat belajarnya lantaran masih
terbayang komentar orang lain.
Ada gejala yang tak biasa ketika
seseorang terlampau untuk diakui. Peristiwa di atas merepresentasikan betapa si
subjek telah mengalami gejala mabuk viral pamrih mendapat legitimasi publik
dengan predikat ‘agen kontrol sosial’. Dengan tindakan digitalnya, dirinya
merasa dapat membangun inspirasi warganet.
Padahal kenyataan semacam itu justru paradoks.
Sapiens Di Ujung Tanduk hendak
menawarkan kebijaksanaan bermedia sosial dengan jenaka. Pelbagai peristiwa yang
dekat dibahas secara subtil dan reflektif. Berefleksi perlu agar senantiasa
bijak dan bajik bermedia sosial. Memilah mana yang perlu dan tidak perlu
disampaikan. Eksistensi perlu, namun ia perlu diiringi dengan berpikir kritis
agar tidak menjerumuskan kita pada sikap yang merugikan orang lain.
Seorang profesor di bidang ilmu
perilaku dan organisasional dari Claremont Graduate University, Michael
Schriven, menjelaskan paradigma berpikir kritis merupakan disiplin intelektual
untuk secara aktif dan terampil membuat konsep, menerapkan, menganalisis, dan
atau mengevaluasi informasi. Dengan
begitu, seseorang tidak terburu-buru menyimpulkan apa yang ditangkap. Upaya ini
di satu sisi membikin seseorang selektif membidik suatu informasi.
Sebagai praktisi media sosial penuh
waktu, Iqbal Aji Daryono menyadari keengganan berpikir kritis para pengguna
media sosial. Keengganan terjadi karena sebagian besar dari mereka terbius
bujuk-rayu keindahan yang artifisial, yang cenderung bersembunyi di balik
pesolek konten destruktif. Berjam-jam
berselancar di gawai tanpa tujuan bak kapal tanpa nakhoda, alih-alih berpresisi
dengan yang dituju, justru menyesatkan, bahkan cenderung menenggelamkan.
Potret bermedia sosial tanpa
berpikir kritis inilah yang pada muaranya akan memanjakan tubuh kita. Kecanduan
menggadaikan tubuh demi hasrat kesenangan temporal kerap melahirkan eksistensi
semu belaka. Betapa sering kita lihat Kita lalu terobsesi konten seksis
tersebut dengan mengimitasinya. Akibatnya, eksistensi kita di ruang virtual
direpresentasikan melalui hal serupa dengan pamrih mendapat likes dan
komentar.
Di titik inilah orang merasa
menjadi dirinya dengan banyaknya likes para followers, namun itu
semua justru bukan dirinya. Suatu kelompok merasa telah mendapat pengakuan
religius atau gender dengan banyaknya publikasi tentang dirinya di pelbagai
media sosial, tetapi itu semua konstruksi media, bukan dirinya.
Untuk mengatasi kegandrungan
bereksistensi semacam itu, sapiens sebagai hewan yang berpikir dituntut untuk
memanfaatkan media sosial dengan baik. Menuangkan ide positif mengenai suatu
hal dengan aktif menulis di media sosial dapat mengubah eksistensi semu itu
menjadi aktualisasi diri yang bermakna. Dengan kata lain, di media sosial lah
seseorang dapat mengeksternaliasikan gagasannya dengan baik.
Jika hal tersebut tidak
memungkinkan dilakukan, minimal dapat mengontrol diri dengan melakukan
detoksifikasi digital. Membuang racun ikut-ikutan terhadap tafsir yang
diberikan orang lain mengenai suatu peristiwa akan membuat emosi kita tidak
naik-turun yang cenderung membahayakan kesehatan jiwa. Inilah yang hendak
disuarakan Iqbal.
Sehimpun esai yang termaktub dalam buku memberi sebuah penyadaran yang begitu berarti. Iqbal ibarat penyelam ulung yang berusaha menemukan mutiara di kedalaman laut. Ia tidak hanya mengamati hiruk pikuk peristiwa yang terjadi di media sosial, namun juga berusaha menggali hikmahnya. Hikmah yang dapat menjadi renungan agar senantiasa bijak dan bajik bermedia sosial. Semoga.*
*Penulis
Muhammad Ghufron,Pegiat Literasi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY), Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga.