Harry Isra Muhammad, belum lama ini menulis semacam panduan untuk para pengarang agar dapat terhindar dari bias representasi melalui situs Tengara.id (23/06/22). Esai itu mencoba memberi tanggapan atas apa yang ditulis Felix K. Nessi soal kemungkinan adanya bias representasi jika seorang pengarang menulis perihal sesuatu yang tidak dikuasainya.
Tulisan Felix tersebut dimuat melalui rubrik Jangka, Bacapetra
(14/06/22). Namun, bukannya benar-benar menyelesaikan masalah atau menjawab
pertanyaan, penjabaran Harry malah menghadirkan masalah dan pertanyaan lain. Pertanyaan
pertama, mengapa Harry harus menyembunyikan dua nama dari tiga nama yang
disebutnya ketika mengurai permasalahan representasi?
Ada tiga pengarang yang dibahas karyanya dalam esai
ini. Ketiganya adalah pengarang yang sama-sama menulis tentang masyarakat yang
bukan dari latar belakang sosio-grafis mereka. Dua nama pertama disembunyikan
oleh penulis seolah-olah setiap pembaca akan langsung paham siapa pengarang
yang dimaksud. Namun, ketika menyebut Gody Usnat, penulis sama sekali tidak
menyembunyikan. Dua nama yang disembunyikan di balik kasak-kusuk itu menjadi
seperti pelaku tindak kriminal yang belum terbukti bahwa apa yang diperbuatnya
benar-benar salah.
Semakin terasa saja kasak-kusuk karena selanjutnya penulis
bahkan tidak membedah kedua pengarang atau setidaknya memberikan bukti tekstual
bahwa kedua nama yang disembunyikannya memang tidak berhasil memproduksi teks
yang mewakili masyarakat yang menjadi objek penciptaannya. Hal ini menghadirkan
pertanyaan kedua: bagaimana kita bisa tahu bahwa kedua pengarang yang dia
maksud tidak berhasil memproduksi teks yang merepresentasikan masyarakat yang
menjadi objek penciptaannya?
Tentu saja pembaca tidak bisa tahu karena buktinya
tidak ditunjukkan oleh penulis. Jangankan bukti tekstual, nama pengarang saja
tidak disebutkan. Padahal yang penulis lakukan lebih banyak membahas
pengarangnya ketimbang teks yang diproduksi oleh kedua pengarang itu. Lagi pula
membahas latar belakang pengarangnya alih-alih teks yang diproduksinya untuk
melakukan kritik membuat kritikan bisa menjurus ke arah ad hominem.
Penulis dalam esainya langsung saja memberi justifikasi
bahwa kedua pengarang yang tidak disebut namanya gagal merepresentasikan objek
yang ditulisnya: “Saya kira kita tidak perlu berdebat panjang lebar.
Representasinya sudah tentu mengandung banyak masalah. Ia belum pernah menjadi
bagian dari masyarakat Papua, dan menulis tentang Papua hanya bermodalkan
buku-buku yang ia baca—sesuatu yang juga tercipta lewat praktik representasi. Apalagi,
karya yang dituliskannya justru memperkuat stereotip-stereotip yang ada tentang
salah satu suku yang ada di Papua. Begitupun dengan ilustrasi nomor dua.”
Bagaimana
pembaca bisa tahu kalau penulis tidak menunjukkan bukti atau setidaknya rujukan
bahwa apa yang ditulis kedua pengarang itu bias representasi?
Lalu ketika Harry membahas Gody Usnat, dia berkata:
“Gody bukan seorang turis yang datang untuk meneliti dan menjadikan
masyarakat yang ia tuliskan sekadar objek atau fantasi untuk inspirasi
karyanya. Gody sudah menjadi bagian dari masyarakat Semografi, dan ia pun
membatasi puisi-puisinya untuk berbicara tentang Semografi.”
Pertanyaan
lain hadir dari pernyataan ini: apakah jika kita menulis tentang masyarakat
tertentu kita harus hidup bersama, harus “meng-ada dan hadir (present)”
bersama masyarakat yang yang menjadi objek penciptaannya? Kata hadir ini juga
bermasalah. Bagaimana jika masyarakat yang coba direpresentasikan sudah berlalu
(past) dan bukan sekarang (present)? Bagaimana cara kita bisa
hadir (present) di masa lalu (past)?
Misalnya ketika seorang teman saya yang merupakan
seorang beretnis Jawa, tinggal di Jawa dan menulis sebuah cerita berlatar
konflik Ambon, apakah dia harus berada di Ambon untuk mampu merepresentasikan
masyarakat? Jika unsur yang harus terpenuhi adalah hadir (present),
sampai kapan pun dia tidak akan bisa hadir. Tidak hanya dia, bahkan orang Ambon
sendiri pun belum tentu bisa karena bisa jadi ia tidak meng-ada pada saat
konflik itu belangsung.
Rasanya uraian panjang lebar dari penulis terlalu
berlebihan. Membaca uraian penulis atas kedua pengarang yang tidak disebut
namanya itu membuat saya merasa penulis sedang berupaya membatasi pengarang dalam
menggali kreativitasnya hanya jika para pengarang ini tidak bisa meng-ada
dalam masyrakat yang menjadi objek penciptaannya. Kesan itu muncul karena penulis
terlalu fokus pada pengarang daripada teks. Penulis terlalu sibuk membahas
latar belakang pengarang ketimbang teks itu sendiri.
Menurut hemat saya, pengarang sampai kapan pun akan
tetap terjebak pada yang namanya bias representasi. Bias representasi itu
pasti. Itu sudah tidak perlu lagi diperdebatkan lagi. Karena setiap pengarang
pasti menjadikan hal lain di luar diri sebagai subjek penciptaan. Dan setiap
yang berada di luar diri pasti tidak bisa direpresentasikan dengan sempurna.
Tapi kita tetap harus menuliskannya bukan? Jika tidak, maka karya itu tidak
bisa lagi disebut karangan. Alih-alih disebut karangan, teks yang dihasilkan
lebih pantas disebut curhat.
Saya rasa perkara bias representasi sudah selesai dengan kesimpulan yang ditulis Felix. Sepanjang pengarang sudah menggali lebih dalam perihal tema yang hendak ditulisnya, maka pengarang boleh saja menulis tentang kelompok lain. Tidak perlu lagi kita menambah-nambah kebingungan yang memang tidak perlu.*
*Penulis
Aliurridha, Penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu perguruan tinggi. Ia menulis esai, opini puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon.