• Bagaimana Kesusastraan Jepang Hadir di Indonesia?

     


    Kesusastraan Jepang mulai dikenal ketika Jepang datang ke Indonesia. Kala itu, lembaga yang menjadi bagian dari militer Jepang bernama Keimin Bunka Shidosho, hendak memberikan pengaruh mereka lewat jalur kebudayaan. Mereka ingin menanamkan Yamatodamashi (Jiwa Jepang Murni) dan Bushido (Semangat Samurai) terhadap rakyat Indonesia. 


    Media sastra pun menjadi bahan propaganda militer Jepang (Katsuya, 2020). Melalui divisi Sastra, mereka menggaet sejumlah sastrawan Indonesia seperti Sanusi Pane, H.B. Jassin, Armijn Pane, dan nama lainnya sebagai agen penerjemah yang mengenalkan sejumlah sastra Jepang kepada masyarakat.

     

    Namun, babakan itu tidak begitu membuahkan hasil penerjemahan yang signifikan. Sebab, keadaan masyarakat kala itu dan penyerapan atas buku sastra (terjemahan) yang kurang, membuat kehadiran sejumlah sajak, cerpen, dan potongan novel terkesan hanya selintas lalu. Di samping itu, rentang waktu tinggalnya tentara Jepang yang pendek, yaitu hanya tiga setengah tahun, turut membuat “upaya” mengenalkan sastra Jepang kurang maksimal. Dan juga kita mesti menyadari, lantaran tujuan militer Jepang berorientasi menjadikan sastra sebagai propaganda, maka tidak ada kebebasan dalam menghadirkan karya-karya sastra Jepang ke khalayak umum.

               

    Sensor masih menjadi penghalang. Karya-karya yang dinilai baik pun luput diterjemahkan, sebab militer Jepang hanya mengizinkan penerjemahan karya yang sejalan dengan misi mereka. Kendati begitu, sejumlah sastrawan tadi mulai melakukan perlawanan tak langsung dengan menerbitkan buku “di luar” kriteria pemerintah Jepang. Usaha mereka pun makin gencar ketika tentara Jepang angkat kaki akibat kekalahanya dalam Perang Pasifik. Dari situ, dimulailah babakan baru bagi pengenalan karya sastra Jepang di tanah air. Terbitan yang penting dilakukan oleh penerbit Gunung Agung dengan menghadirkan buku Sastra Jepang Sekilas Mata (Gunung Agung, 1961) dan Antologi Sastra Jepang (Gunung Agung, 1964) karya Nio Joe Lan.

               

    Pada masa itu, muncul pula penerbit Pustaka Jaya yang kali pertama menerbitkan mahakarya Yasunari Kawabata Negeri Salju (1972) terjemahan Anas Ma’aruf. Itu tahun-tahun kala Kawabata baru meraih Nobel Sastra-nya, sehingga atensi publik dunia, tanpa terkecuali Indonesia, mengarah ke kepadanya. Sejak itu, judul dari ragam penulis lainnya bermunculan. Pembaca Indonesia dikenalkan dengan nama Junichiro Tanizaki, Natsume Soseki, Akutagawa Ryunosuke, Osama Dazai, Yukio Mishima, sampai Takashi Kojima. Namun, keberagaman itu masih diwarnai sejumlah masalah, terutama masalah kualitas terjemahannya. Hal itu ditengarai lantaran karya dari penulis tadi masih diterjemahkan dari bahasa kedua, yaitu bahasa Inggris, sehingga sering kali terhadap penyelewengan  pemaknaan atas kalimat yang kelewat jauh.

               

    Ditambah lagi, pengetahuan terkait budaya Jepang masih belum dikuasai oleh penerjemah, dan itu membuat hasil penerjemahan terkesan jauh dari penggambaran yang sebenarnya. Penguasaan penerjemah yang terbatas terhadap bahasa sumber (bahasa Inggris), pun semakin membuat hasil penerjemahan itu memiliki sejumlah cacat yang mengkhawatirkan. Hasilnya, karya-karya itu kehilangan nuansa kekhasannya, dan hal itu turut membuat orang skeptis manakala mereka hendak melirik karya-karya serupa.

               

    Untungnya, minat penerjemahan karya sastra Jepang tidak lantas berhenti begitu saja. Sebab, memasuki dekade 2000-an, sejumlah penerbit mulai mengambil langkah berani dengan melirik karya yang keluar dari kanon lama. Mereka mulai melirik nama yang berada di jajaran penulis Jepang kontemporer. 


    Nama seperti Banana Yoshimoto dan Haruki Murakami menjadi pionir angkatan baru ini. Kita mengenal mereka lahir dari dapur penerbit Kepustakan Populer Gramedia (KPG) yang menghadirkan karya Banana Yoshimoto yang berjudul Kitchen (2009) dengan Dewi Anggraeni sebagai penerjemahnya. Dari dapur mereka pula, karya-karya Haruki Murakami seperti Norwegian Wood, 1Q84, Dengarkan Nyanyian Angin, Kronik Burung Pegas, Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya, sampai Lelaki Tanpa Perempuan bisa dibaca publik Indonesia. Karya-karya itu mayoritas diterjemahkan oleh penerjemah Ribeka Ota.

               

    Di sisi lain, terkhusus dalam satu dekade belakangan ini, penerjemahan karya sastra Jepang mulai datang dari penerbit independen. Maka kita pun bisa mengenal nama-nama seperti Akiyoshi Rikako, Minato Kanae, sampai Kawakami Mieko. Di samping pula, penerbit besar (GPU, misalnya) yang turut menghadirkan nama lain: Sayaka Murata, Yoko Ogawa, sampai Shion Miura. Satu hal yang perlu digarisbawahi, penerjemahan karya penulis-penulis tadi memiliki perbedaan besar, yaitu mereka diterjemahkan dari bahasa pertama (bahasa Jepang), sehingga asumsi umumnya adalah kualitas mereka lebih baik. Sebab, keberjarakan antara bahasa sumber dan bahasa target tidak terlampau juah, di samping pula pihak penerbit memiliki standar penyeleksian penerjemah yang tinggi.

               

    Adapun hal lainnya, kita juga perlu menyadari adanya perbedaan di antara karya-karya kiwari dengan yang lama. Citra klasik yang lama melekat dalam diri karya sastra Jepang di Indonesia, terutama lantaran dipengaruhi oleh penulis-penulis kanon lama (Kawabata, Soseki, atau Mishima), makin bergesar menuju ke arah yang lebih berwarna lagi. Sebab, apa yang dibawa penulis Jepang kontemporer kerap kali berbeda dengan semangat masa lampau. 


    Isu kehidupan modern hampir mewarnai karya-karya yang mereka tulis. Sebagai contoh, penulis Sayaka Murata menghadirkan gambaran kehidupan masyarakat yang menekankan sejumlah standar bagi anggota masyarakatnya dalam novelnya, Convenience Store Woman (Gadis Minimarket, GPU: 2020). Atau penulis Kawakami Mieko yang melayangkan kritik terhadap standar kecantikan dan mempertanyakan ulang soal perkara memiliki anak dalam novelnya yang berjudul Breats and Eggs (Susu dan Telur, Moooi Pustaka: 2021). Kedua karya itu bisa dipahami sebagai respons penulis modern terhadap isu-isu yang ada di sekitar mereka.

     

    Kendati bidikan utama mereka adalah masyarakat Jepang, tetapi isu sosial tersebut tampak menemukan relevansinya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Hal itu pulalah yang menjadi daya tarik lain dari keberadaan karya-karya tadi. Akibat isu-isu yang terkandung di dalamnya, sejumlah karya itu pun mendapat keberterimaan yang baik di masyarakat. 


    Selain itu, agak berbeda dengan keadaan masa lampau, kini penyebaran karya sastra Jepang juga ditopang dengan keterlibatan masyarakat atau pembaca itu sendiri. Bermodalkan media sosial, mereka bisa membagikan hasil pengalaman membaca yang telah dilakukan, lalu menuliskan kesan terhadap karya tersebut, kemudian mengunggahnya di kanal media sosial mereka. Dari situ, penyebaran informasi terkait karya tersebut makin massif dan bisa menjangkau khalayak yang lebih luas lagi.

               

    Dengan demikian, sejarah penyebaran karya sastra Jepang di Indonesia tampil secara dinamis. Keberadaan mereka mengikuti perkembangan zaman dan dipengaruhi oleh minat masyarakat yang berubah. Kalau dahulu penyebarannya segelintir saja dan terkesan terbatasi, tetapi sekarang akibat minat dan kualitas penggarapan karya oleh pelaku perbukuan membuatnya hadir dengan keberagaman yang lebih kaya. Publik pembaca makin disuguhi karya yang berwarna-warni dan tidak terkesan dari penulis “yang itu-itu saja”.*


    *Penulis

    Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. 

  • You might also like