Di situasi gawat darurat gara-gara pandemi, tampaknya pejabat kita lebih rajin memikirkan urusan investasi daripada kesehatan di negeri sendiri. Tak salah Najwa Shihab bilang mereka sedang mengidap anosmia empati. Sebuah kondisi di mana hilangnya rasa untuk peduli. Tak ada simpati pada rakyat yang terkatung-katung mencari cara agar bisa bertahan hidup di tengah ganasnya penyebaran virus mematikan ini.
Pejabat kita juga barangkali sedang diserang demam egoisme. Suhu kepala mereka cepat panas tatkala dihujam kritik akibat hanya mementingkan diri pribadi plus sanak familii. “harus ada RS khusus pejabat, harus selalu tersedia ruang ICU untuk kami yang memikirkan nasib rakyat,…”. Ego mereka makin tinggi sampai-sampai nasib rakyat yang kehabisan oksigen, tak dapat tempat di rumah sakit, kekurangan makanan dan jadi yatim piatu akibat covid, kehilangan pekerjaan, kehilangan lapak dagangan karena disita satpol, dan tak bisa pulang kampung karena sudah kehabisan segalanya di rantau, tak sempat dipikirkan lagi. Kematian pun tak lagi dianggap tragedi.
Di tempat saya mukim di pulau paling tenggara Kalimantan Selatan, berita tentang pejabat yang sedang bersiap menyambut investor dari luar negeri tak ada habisnya diumbar media. Padahal, situasi daerah telah berwarna merah darah. Kebijakan penanganan dan pengendalian pandemi begitu lamban dikeluarkan. Terlalu banyak kompromi politik, terlalu lama negosiasi, terlalu bejibun pertimbangan agar pemberi investasi tak jadi menarik diri. Pandemi tak serius direspon dengan sepenuh hati. Saran para ahli tak digubris sama sekali. Alhasil, dalam dua minggu terakhir kita hanya dapat terdiam cemas menyaksikan derai-derai innalillahi.
Saya adalah satu diantara nakes yang dikontrak dan bertugas mengurusi wabah, yang saat ini sedang menjalani masa isolasi, tetapi sudah dua bulan terakhir tidak digaji. Jangankan insentif, gaji pokok saja tak ada. Jika dikumpulkan, alasan lamban dan tidak jelasnya penggajian kami, sudah mirip seperti bukit. Menumpuk dari hari-ke hari. Terlalu banyak bacot dengan embel-embel mematuhi aturan sana-sini. Ironisnya, di saat yang nyaris berdekatan, izin tambang dengan mudah dikeluarkan. Izin investasi begitu lancar diterbitkan. Pejabat kita memang lebih doyan mengerjakan hal-hal yang mereka anggap besar padahal merusak jasa lingkungan, sementara yang jelas-jelas meronta di depan mata diabaikan begitu saja.
Pejabat kita terang hanya mementingkan kekebalan komuditi, dibanding tsunami anxiety yang memperparah nasib rakyat di masa yang meneganggkan ini. Kekuasaan telah bikin hati mereka mati. Mereka tega membiarkan rakyat hidup dengan segala yang tak pasti. Hari demi hari dilalui beradasarkan spekulasi. Layaknya orang berjudi. Pejabat kita sibuk memperkaya diri, bisa dengan korupsi, bisa dengan memainkan anggaran institusi. Bansos covid, misalnya, kita tahu sudah sedemikian rupa dipreteli.
Super sekali memang tabiat pejabat kita hari ini. Tak sempat introspeksi diri padahal berkali-kali rakyat teriak interupsi. Di tengah bertambah dan meningkatnya orang yang mati, mereka masih sempat terlihat tertawa, padahal ini bukan komedi. Berharap kebaikan pada pejabat sama saja menunggu batu bisa bicara. Bikin emosi tak terkendali. Hanya menambah nyeri pada tubuh yang sudah koyak diterjang pandemi. Namun, sejatinya kita tidak boleh kalah.
Saat ini hidup memang susah. Dunia terasa makin kejam dan tak adil. Kendati demikian, jangan sampai kita tak bisa melawan ketika dipaksa virus kecil tak kasat mata itu dan pejabat yang doyan menyalahkan rakyat, mati dengan mudah. Haram hukumnya menyerah. Kita perlu bertahan meski segalanya terasa payah.
Kita perlu perkuat simpul agar tak merasa sunyi sendiri menghadapi dunia penuh distorsi. Persenjatai diri dengan imun. Berdayakan diri agar teredukasi. Pertajam nurani. Tebar benih-benih empati sebagai amunisi memperkuat komuniti. Perlebar jejaring kerelawanan di pelbagai lini. Galang donasi. Lalu gunakan untuk memastikan tak ada lagi orang yang kelaparan, kesakitan, dan tak bisa tertolong hingga akhirnya mati.
Sebab, hanya
komuniti yang sehat dan teredukasi yang bisa membantu komuniti lain untuk bisa
keluar dari kerentanan di waktu menyebalkan begini. Komuniti bantu komuniti.
Mungkin itu hal-hal kecil yang bisa kita perjuangkan hari ini. Berkontribusi
untuk negeri dengan saling melindungi. Saling menghormati.