The Watergate Scandal adalah salah satu polemik politik besar, dua
partai dominan Amerika Serikat, Republikan dan Demokrat. Ihwal peristiwa ini bermula
ketika sekawanan pencuri, kedapatan masuk ke kantor Komite Nasional partai
Demokrat pada suatu pagi, 17 Juni 1972. Para pencuri ini masuk untuk menyadap
telepon dan mencuri beberapa dokumen penting di gedung tersebut.
Setelah penyidikan usai dilakukan, fakta menemukan bahwa para pencuri yang
tertangkap, terafiliasi sebagai tim sukses Nixon di partai Republikan yang kala
itu sedang menjadi orang nomor wahid di Paman Sam.
Masalah tidak usai di situ, ketika polemik ini mencuat ke publik, rezim
Nixon yang berkuasa kala itu melakukan langkah represif terhadap wartawan Washington
Post, Woodward dan Bernstein, yang mengungkap kongkalikong tersebut. Presiden
Richard Nixon akhirnya dimakzulkan dan harus meletakkan jabatannya sebagai Presiden
Amerika Serikat yang ke 37.
Namun, bagian yang terus tumbuh dalam ingatan warga Amerika Serikat adalah
ketika juru bicara presiden Nixon ketika melakukan konferensi pers, menggunakan
frasa “mistakes were made” untuk mencuci tangan atas kesalahan besar
yang dilakukan oleh rezimnya. Dalam kamus politik yang disusun oleh William
Safire, entri tersebut didefinisikan sebagai frasa pasif, untuk mengelak dari
kesalahan. Frasa itu berfungsi mengganti subjek dari asimiliasi morfologisnya
pada kata kerja. Yang dalam hal ini, mengaburkan si pelaku dari tanggung jawab
lakuannya, dengan meletakkan objek di awal kalimat.
Setelah rezim Nixon, tiga belas tahun kemudian, frasa tersebut rupanya digunakan
kembali di rezim Reagan pada tahun 1987. Selanjutnya, penggunaan frasa itu menyeberang
ke Partai Demokrat, di rezim Clinton pada tahun 1998. Lalu berpindah kembali ke
Partai Republikan, di rezim George W. Bush pada tahun 2006. Hingga akhirnya,
frasa itu amat terkenal sebagai The King of Non-Apologies yang digunakan
politikus di negara adikuasa itu.
Di kelas-kelas bahasa Inggris Amerika, banyak guru mengajarkan frasa
tersebut kepada murid mereka ketika menjelaskan tata bahasa pasif.
Seperti pepatah Amerika, membunuh dua unggas dengan satu
kali lemparan batu. Para guru ini mengajarkan tata bahasa, sekaligus sejarah
politik di waktu yang bersamaan.
Sekitar sembilan ribuan mil jauhnya dari Amerika, saya teringat pada sebuah
daerah bernama Lise yang terletak di Kabupaten Sidenreng Rappang. Orang Lise terkenal
karena kepandaian bersilat lidahnya. Di Lise,
orang-orang menggunakan makna bahasa secara cermat. Menurut cerita yang beredar,
seperti yang saya kutip dalam kata pengantar salah satu buku sastrawan kenamaan, Faisal Oddang, jika
Anda ke Lise lalu bertanya alamat rumah kepada seseorang dengan “Apakah
Anda melihat rumahnya Si Ini?”, bisa saja Anda dijawab dengan “Saya tidak
melihatnya” meskipun rumah tersebut berada tepat di belakang punggung orang
yang Anda tanyai. Hal tersebut menunjukkan bagaimana makna bahasa bagi
masyarakat Lise adalah hal yang konklusif dan amat denotatif.
Sayangnya, untuk membayangkan seorang dari Lise memenangkan pemilihan
presiden, sama halnya membayangkan seseorang sedang memanjati air hujan. Tapi dalam
pembayangan yang lain, katakanlah, misal orang Lise jadi presiden; seperti apa
kemudian komunikasi publik yang ia lakukan? Akankah ia lugas, atas carut
marutnya penanganan pandemi yang sangat denial sedari awal? Akankah ia
mengumpat dan menyangsi berat jajaran menterinya yang terjerat kasus korupsi
ketika banyak warga kesulitan untuk sekadar makan dan bertahan hidup? Apakah ia
dengan bijak meminta maaf di hadapan masyarakat yang telah kehilangan orang-orang
terkasih, bahwa selama ini toh pemerintah hanya memprioritaskan ekonomi
saja? Jawabannya mungkin iya, mungkin tidak. Bergantung bagaimana ia bersilat
lidah, karena konon cerita, tidak semua juga orang Lise pandai melakukan hal
itu.
Kendati bahasa yang digunakan para Presiden Amerika Serikat yang telah
disebutkan sebelumnya di atas, butuh analisis lebih jauh jika harus
menghubungkannya dengan silat lidah orang Lise, dan keterkaitannya dengan
bahasa komunikasi para pemimpin kita hari-hari ini. Namun, mari selanjutnya
menengok terma doublespeak yang pernah diungkap oleh Wiliam
Lutz, seorang profesor di Rutgers University! Doublespeak
adalah istilah untuk menciptakan makna imajiner: sesuatu yang buruk menjadi
tampak lebih bagus, atau setidaknya tidak seburuk itu.
Jika di ingatan kita masih lekat ketika pemerintah sangat gemar membuat
rakyatnya bingung: membedakan mudik dengan pulang
kampung, vaksin gratis dengan gotong
royong, karantina wilayah dengan PPKM, dan sekarang
muncul istilah level-levelan bak memesan ayam geprek; di
sinilah konsep doublespeak dan silat lidah itu perlu diperiksa. Dengan
begitu, kita benar-benar akan mulai serius bertanya: selama ini, pemerintah
kita sebenarnya sedang melakukan apa?
Pandemi memang telah memunculkan watak asli bangsa ini, khususnya para
pemimpinnya. Amat mustahil untuk berharap banyak pada pemimpin yang bahkan
persoalan sederhana seperti cara berkomunikasi yang baik dan benar, untuk
menangani gelombang kedua yang sedang membabi buta.
Pernyataan sang Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu, sebagai
penanggung jawab PPKM, yang mengatakan pandemi ini terkendali, lantas mudah
saja mengganti pernyataannya dengan mengatakan varian delta sulit dikendalikan,
adalah contoh paling dekat, untuk melihat betapa persoalan komunikasi
pemimpin bangsa ini, sudah sampai
di ranah yang sungguh mengkhawatirkan.
Apakah Pak Luhut meminta maaf atas pernyataannya itu? Tidak.
Ia memang meminta maaf secara umum, tapi redaksi kalimatnya serupa dengan yang
dilakukan juru bicara Nixon. Simak pernyataan beliau berikut ini: “Saya ingin meminta
maaf kepada seluruh rakyat Indonesia jika dalam penanganan PPKM Jawa-Bali ini
masih belum maksimal.” Sungguh, beliau tidak berkata “… jika dalam penanganan
PPKM Jawa-Bali ini, KAMI belum maksimal,” yang jauh bisa menunjukkan bahwa mereka
benar-benar peduli dan bertanggung jawab menangani pagebluk ini.
Apakah mereka pemerintah, sebetulnya sedang bersilat lidah seperti orang
Lise? Atau doublespeak seperti teori Lutz? Atau sebenarnya pemimpin kita, sedang mengilhami
The King of Non-Apologies?
Sayang sekali, ketiga pertanyaan di atas, memiliki
kemungkinan besar jawaban yang sama: iya.
Bila di skala konsep mereka sebetulnya sudah nirkompetensi, apa yang bisa
kita harapkan di tahap penerapan kebijakan, yang akhirnya terbukti mengorbankan
kelas pekerja, pengusaha-pengusaha kecil, dan para tenaga kesehatan?
Cara mereka menangani pandemi sejauh ini perlu menjernihkan nalar kita melihat
kembali betapa keterlaluannya para pemimpin negeri ini. Syahdan, tidak
perlu jauh persoalan program-program wasweswos itu, paling tidak, dari
cara-cara mereka berkomunikasi. Hal ini penting disadari, agar kita tidak lagi mudah
percaya dengan frasa paling imajiner sejagat raya yang sering sekali mereka
lontarkan: demi kepentingan rakyat!*
*Fadhil Adiyat, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Bergiat aktif, belajar, dan berdiskusi di ruang-ruang tentang kehidupan, juga hal-hal yang menyentuhnya. Dapat dihubungi melalui surel : fadhil.adiyat@gmail.com, instagram: @fadhil.adiyat