• Kopi Djuang dan Perjuangannya

     


    Kopi pertama tergeletak di meja bercampur gerimis yang turun amat pelan. Saya belum hendak berdiri. Barangkali ingin menikmati pemandangan Kota Jayapura, Papua, yang baru pertama kali saya datangi. Rasanya, sedikit gerimis tak akan mendorong masuk ke kursi kosong di teras kedai kopi itu yang memang sudah saya incar. Sampai akhirnya, saya mesti mengalah pada kehendak alam.

    Kedai kopi itu didominasi warna hitam dan coklat dengan varian tua dan muda—seperti usia penganjung yang berada di kedai kopi itu. Sebuah dinding kaca melintang membelah pengunjung yang suka ruangan ber-AC dan yang suka merokok. Sebuah pintu di pojok kiri dari arah depan memungkinkan pengunjung memilih tempat ternyamannya. Dari depan pintu, bar kedai kopi berdiri menyamping. Sebuah tempat yang bertanggung jawab untuk harum yang tinggal lama di liang hidung.

    “Kalau konsepnya sih minimalis. Kalau menurut saya sih, konsep kedai ‘kan gambaran dari apa yang kita sukai. Misalnya kenapa kayu, karna menggambarkan kekokohan selain warnanya hitam yang artinya menyerap panas,” jelas Reja Prayoga, salah satu dari tiga inisiator Kopi Djuang selain Jefry Theos dan Ferdian Saka. Ia tiba setelah saya memesan segelas kopi ketika hujan mulai redah.

    Lelaki itu tiba dengan mata yang seperti menahan kantuk. Maklum, ia baru saja tiba dari Jakarta hari itu juga dan langsung mesti meladeni saya. Ia datang dengan setelah celana jins biru, baju kuning terang, sepatu kets, dan topi kupluk yang jadi ciri khasnya. Tingginya barangkali seratus tujuh puluhan. Di tangan kirinya, sebuah tatto melingkar.

    Tatto itu pada mulanya hanya terlihat sebagai tinta biasa di tangan kirinya. Tapi setelah mendengar ceritanya, saya jadi memahaminya sebagai simbol perlawanan. Tatto itu ia bikin untuk menghindari pekerjaan sebagai pegawai. Ia melakukannya dengan sadar. Sebenarnya orang tuanya ingin ia tumbuh dan hidup sebagai pegawai saja, tolak ukur kesuksesan yang sampai sekarang masih sering diperdengarkan pada anak muda. Padahal, kemajuan teknologi informasi serta zaman, tentu saja, memuncurkan ceruk ekonomi baru. Salah satunya kopi, yang dipilih Reja sebagai jalan hidupnya.

    Kopi Djuang berdiri sejak tahun 2018. Reja yang pada mulanya bekerja sebagai barista di kedai kopi lain, memilih berhenti dan berniat membangun usaha kopinya sendiri. Ia lalu mengajak kawanan tongkrongannya bekerja bersama. Dari situ, ia membangun sebuah kedai kopi dengan konsep chattering, yang beroperasi secara sporadis dengan mendatangi kegiatan dan acara yang membutuhkan kopi. Setelah dirasa mampu, mereka bergabung sebagai tenan di lokasi Cafe Resistance di kompleks Pasifik Permai, Ruko Dok II, Kota Jayapura. Hanya setahun bergabung, di awal tahun 2020, mereka memutuskan untuk menyewa ruko di Jalan Dr Soetomo (Paldam) Kompleks Ruko Puskopad sampai saat ini.

    Bermodal kawan tongkrongan, kedai kopi itu perlahan mulai punya gaung soal perkopian. Pengunjungnya saat ini datang dari berbagai latar belakang. Mulai dari jurnalis, gamers, musisi, sampai seniman tatto. Ia percaya kopi tidak punya strata sosial yang harus ditaati dan semua orang boleh menikmatinya.

    Selain sebagai kedai kopi, Kopi Djuang juga menjadi satu ruang penting di Kota Jayapura dalam menghidupkan ekonomi kreatif. Misalnya, Kopi Djuang kerap menjadi ruang bertemunya seniman tatto dan peminatnya. Selain itu, ia juga bekerja sama dengan seniman yang ingin memajang karyanya di Kopi Djuang. Bahkan sampai jadi tempat dropship pencucian sepatu.

    Suasanya ala tongkrongan yang jadi basis modal Reja begitu terasa. Ketika kami lagi asyik mengobrol, ia bisa tiba-tiba saja beranjak dari kursinya ketika melihat salah satu pengunjungnya pulang. Hanya untuk sekadar menyapa. Lantaran duduk di depan pintu keluar dari dalam, pengunjung pun kerap menyela obrolan dengan menyalaminya atau sekadar menepuk punggungnya. Sejak kami mengobrol, saya sudah menyaksikan itu belasan kali.

    Barangkali karena keramahan dan karakternya itulah yang membikin salah satu perusahaan rokok memilihnya menjadi brand ambassador. Sejak awal ia memang menganggap kedai kopi selain sebagai ruang kreatif, juga sebagai media pengubung. Hal inilah yang membikin ia dan kawan-kawannya mendesain Kopi Djuang dengan model, barangkali creative hub. Hal ini tentu saja tak mengherankan ketika melihat iman Reja soal ruang yang memercayai desain kedai kopi adalah karakter orang-orang yang menghidupi ruang itu. Itu tergambarkan pada dirinya dan kedai kopinya.

    Hal ini juga terlihat dari pilihan kata “Djuang” pada nama kedai kopi itu. Dari ruang dalam, kita bisa melihat lukisan dan poster-poster humanis. Ada juga tokoh-tokoh perjuangan seperti Bob Marley dan Che Guevara. Di dinding kedai itu pula, sebuah tulisan dengan cahaya berwarna merah tertulis “Coffee, Love, & Dedication”. Bahkan kopi yang saya pesan bernama kopi susu rakyat. Sungguh, suasanya yang sangat “djuang”, apalagi mengingat perjalanan sulit yang dilalui oleh Reja dan kawan-kawannya.

    Saya bukan tipe orang yang paham banyak paham kopi. Saya bahkan tak tahu rasa kopi yang saya minum itu berubah atau tidak sejak ditetesi gerimis tadi. Tapi duduk sebentar di Kopi Djuang, mengobrol dengan Reja, saya begitu menikmatinya. Atau barangkali memang begitu, kopi punya fungsi penghubung selain cita rasa dan segala persoalannya.

    Apa yang dilakukan Reja, selain bertanggung jawab atas pilihannya tidak menjadi pegawai, juga menjadi semacam upaya memberikan pilihan pada anak-anak muda untuk berani keluar dari pola pikir usang yang beranggapan kesuksesan hanya milik pegawai. Padahal, di zaman sekarang, kemungkinan-kemungkinan usaha kreatif sangat berpotensi tumbuh lebih subur dan baik. Upaya-upaya Reja tak hanya sampai di situ. Di Kopi Djuang, siapapun boleh datang untuk belajar meracik kopi. Bahkan, beberapa di antaranya pernah menjadi barista di kedai kopi itu, sebelum pergi entah melanjutkan usahanya atau mencari pilihan lain.

    Pintu kafe terbuka, aroma kopi menguar menghantam hidung. Entah kopi dari mana. Mungkin Wamena. Reja bercerita, kopi Papua pada tahun-tahun 2016 sampai 2018 belum begitu diminati. Selain karena kualitasnya yang belum baik, harganya pun masih relatif mahal ketimbang kopi-kopi dari Toraja, misalnya. Tapi belakangan ini, banyak daerah-daerah baru di Papua mulai membuka kebun kopi.

    Sejak tahun 2016, ia terlibat dalam edukasi petani di daerah Papua. Ia berpikir, hubungan emosional dengan petani lebih penting, “kalau hubungannya baik, mereka juga kerjanya baik. Hasilnya baik,” kata Reja. Ia tak sepenuhnya sendiri. Beberapa kawannya tersebar menjadi penghubung petani dengan pemilik-pemilik kedai di Papua maupun di luar Papua.

    Hampir jam dua belas malam sebelum saya sadar perjalanan pulang begitu jauh dan melelahkan. Dari Paldam, saya mesti bergerak ke Waena yang saya tempuh dengan hantaran jasa daring sebenar lima puluh ribu. Sebenarnya saya masih bersemangat mendengar ceritanya. Apa boleh bikin, lagi-lagi saya mesti mengalah pada kehendak alam dengan ruang dan waktunya.


    *Fauzan Al Ayyuby, seorang penulis dan peneliti yang gemar melompat jarak pendek

  • You might also like