Kematian belakangan merupakan kosa kata paling sering
muncul dalam pemberitaan media juga linimasa, sekaligus bunga rampai segala
kecemasan—atau boleh jadi impian—yang samar-samar mengintip lewat potongan-potongan
gambar dan kabar. Upaya-upaya menjabarkan kematian agaknya jadi konsep yang tak
pernah terdeskripsikan.
Bagi saya, kematian seperti keluguan yang ditemukan kembali sejak wabah menayangkan angka-angka yang tak putus, ketika setiap orang sama tak putusnya berharap; ketika setiap orang berapayah-payah mencari jalan keluar. Meski pada akhirnya yang kita tangkap hanyalah abstraksi, sebuah pertanyaan yang terus-menerus berputar pada poros rahasia.
Kehidupan sendiri
menjadi tak terukur, kembali pada kelenturannya yang sederhana. Begitupula
kematian, ia kembali pada dirinya yang tak dikenali. Tapi tetap saja ia memberi
pilihan untuk menghadapinya dengan ketakutan atau justru kesenangan.
Saya termasuk orang yang menghadapi kematian dengan
rasa takut. Barangkali karena tidak berani percaya diri pada persoalan semacam
ini. Atau boleh jadi lantaran tak tahu cara menyikapi sesuatu yang tidak saya
pahami. Upaya-upaya untuk memahaminya tentu saja ada. Tapi definisi selalu saja
mampu mengaitkan ulang ketakutan pada ketakpuasan, ketakbebasan.
Ini yang saya pahami ketika mendengar cerita seorang
kawan yang pernah koma selama seminggu di rumah sakit akibat kecelakaan motor.
Waktu itu ia masih kelas tiga SMA di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Setelah dua
hari mempreteli motor ninja milik kakaknya, ia kemudian mengetesnya di jalan
raya. Nahas, ia terpental setelah menabrak gundukan pasir di tepi jalan itu. Ia
tak sadarkan diri dengan luka-luka dan patah tulang di tubuhnya.
Ketika membuka mata, hamparan tanah lapang berumput dan gunung-gunung menyambutnya. Tak ada matahari. Tapi masih ada langit berwarna tak terlalu terang. Tak ada ujung tempat mata mengakhiri pandangan. Ia merasakan keteduhan yang tak pernah ia rasakan selama hidup.
Segala beban
seperti terlipat dan tinggal di suatu tempat. Ia begitu berbahagia dan tak
ingin pergi ke mana-mana lagi. Anehnya, tak ada perasaan takut meskipun ia
sendiri. Barangkali tak ada yang bisa dilakukan ketakutan di tempat seperti
itu. Meski baru kali pertama melihat tempat itu, ia tak merasa asing. Hangat
dan akrab sekali.
“Tiba-tiba ada cahaya putih. Makin lama makin terang. Terus mataku terbuka,” kenang kawan yang akrab disapa Bolang itu. Ia telah sadarkan diri setelah seminggu melewati masa-masa krisis. Setelah sadar, ia ingin kembali lagi ke tempat itu: sebuah ruang tunggu pada perjalanan hidup dan matinya.
Suasana yang pergi justru ketika ia kembali, suasana yang terus-menerus ingin
ia konstruksi ulang lewat perjalanan. Semacam retrospeksi tapi yang lebih utuh. Sejak itu,
ia sering berpetualang. Pergi ke tempat-tempat yang kata orang menenangkan
jiwa. Tapi tak pernah ia merasakan suasana yang sama seperti waktu itu.
Bukan hanya sekali ia berhadapan dengan kematian. Ia
menghadapinya setidaknya tiga kali dalam hidup. Pengalaman kedua terjadi ketika
ia berada di daerah Wamena, Papua. Pria kurus yang tingginya tak sampai 165 cm
ini, mengalami benturan keras yang menyebabkan tengkorak kepalanya sedikit pecah.
Ia mengaku sempat mengalami amnesia ringan.
“Masalahnya kemarin, bukan kulit kepala yang pecah.
Tapi tengkoraknya,” jawabnya ketika saya meminta penjelasan utuh dari kejadian
itu. Ingatannya seperti memencar dan agak sulit untuk disatukan kembali. Tapi
ia akan mengingatnya ketika diberi kata kunci terkait.
Kejadian itu berlangsung di tahun 2019 ketika ia
ditugaskan oleh Camat setempat untuk menjadi pendamping desa di Wamena. Wamena
adalah sebuah kota yang berada di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, sekaligus
merupakan ibu kota kabupaten tersebut. Ia merupakan pusat kota di daerah
pedesaan yang menampung dataran tinggi dengan konsentrasi populasi tertinggi di
Papua Barat, Lembah Baliem dan daerah sekitarnya. Setiap desa dipisahkan oleh
gunung dan lembah dengan jarak yang cukup berjauhan.
Hari itu Bolang berkeliling desa menggunakan mobil Strada. Di tengah perjalanan, mobilnya masuk ke dalam jurang di antara pegunungan itu. Ia pasrah. Kepalanya berbenturan dengan kaca mobil.
Seperti
kaca itu, ingatannya pun ikut retak. Tapi tak pecah. Lain lain nasib tengkorak
kepalanya yang mengalami pendarahan hebat. Ia tak sadarkan diri dan hanya
mengingat dirinya terbaring di rumah sakit. Dari kawannya, ia tahu, sudah
seminggu ia tak sadarkan diri. Tapi kali ini, ia tak masuk lagi ke “ruang
tunggu” antara hidup dan mati seperti saat kali pertama mengalamai koma. Sebuah
tempat yang barangkali hanya akan sekali dalam hidup didatanginya.
“Kak Bambang, saya di mana yah? Ini apa di tanganku
ini... ini apa yang melengket-melengket di badan ini. Saya lapar. Terus saya
mau bikin kopi,” katanya kali pertama sadarkan diri ditemani seorang kawannya
bernama Bambang. Yang ia ingat pertama kali adalah kopi.
Saat ini Bolang sedang mengurusi sebuah kedai kopi di
Wamena. Kesukaannya dengan kopi berlangsung sejak tahun 2015. Bermula dari
seorang kawannya yang membikin kedai kopi di pinggir jalan Kota Makassar
bermodalkan kompor gas mini, peralatan manual sederhana seperti rok presso, dan
bahan-bahan kopi, ia ikut nongkrong dan selalu melihat-lihat cara pembuatannya.
Sejak itu ia bertekad mempelajarinya.
Dari tekad itu, ia melamar di salah satu kedai kopi terbesar di Indonesia yang membuka cabang di Palu. Tapi ia tak betah bekerja di tempat itu. Setelah setahun bekerja, ia memutuskan keluar dan membuat kedai kopi sendiri. Ia membuka kedai kopi di sebuah ruko berlantai tiga yang terletak di pinggir Pantai Talise.
Pengalaman berharga yang ia ambil dari tempat kerja pertamanya
itu adalah soal manajemen bar di kedai kopi. Pengalaman yang pada akhirnya ia
salin dan susun ketika memulai kedai kopinya sendiri. Untuk kopi sendiri,
semasa bekerja, ia sudah bergerilya ke berbagai kedai kopi di Palu untuk
belajar. Ia juga mengikuti beberapa pelatihan tingkat nasional.
Sebelum kejadian masuk jurang tahun 2019, di tahun
2018 Bolang adalah salah satu orang yang selamat dari Tsunami Palu. Ketika itu
hampir maghrib. Ia sedang sibuk di kedai kopinya. Karena satu keperluan, ia
menyuruh satu kawannya untuk naik ke lantai atas ruko kemudian ia hendak pergi.
Tapi saat itu, seorang kawannya menyuruhnya untuk makan lebih dulu. Karena
merasa tak enak, ia menghampiri kawannya itu. Tiba-tiba air laut menghamtam
mereka.
“Pas lihat air, saya bilang,’ya Tuhan, ambil sudah
saya’,” kenangnya. Ia hanyut dan setelah itu ia tak sadarkan diri lagi. Ia
terlempar sekitar tiga kilometer dari tempat awalnya. Dari lokasi timbunan
reklamasi, ia terlempar sampai tiba di aspal jalan . Ia baru sadar ketika pagi
tiba. Ia bangun dalam keadaan linglung di tengah kondisi jalan yang berlumpur.
Kakinya terjepit kayu. Ia melepasnya
dengan susah payah.
Di tengah kondisi linglung itu, seorang anak kecil
datang lalu memegang jari kelingkingnya. Anak kecil itu menangis dan bilang
pada Bolang kalau ibunya ada di dalam sana sambil menunjuk sebuah bangunan yang
sudah ambruk. Anak kecil itu menangis. Ia juga. Air mata yang lepas dari
kesadarannya, jatuh seperti rasa syukur setelah selamat, juga kesedihan melihat
banyaknya orang yang mati akibat tsunami.
Beberapa jam sebelum kejadian, ketika salat Jumat, gempa melanda Palu. Ia melihat mimbar bergoyang, jam dinding, rak-rak buku, dan lain-lain. Di saat seperti itu, ia dan seorang kawannya saling pandang, “Mungkin dalam hatinya ini, ‘ah, lari ‘kah?’”. Kawannya itu sudah sangat gelisah. Ia dan kawannya beserta jamaah tetap melanjutkan ibadah mereka.
Saat
itu Bolang berpikir bahwa hari itu adalah hari kiamat seperti yang ditulis
dalam HR. Muslim No. 854: “Sebaik-baik matahari terbit adalah hari Jumat. Pada
hari Jumat Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukan ke dalam surga dan pada
hari Jumat itu juga dia dikeluarkan dari surga. Hari kiamat tidaklah terjadi
kecuali pada hari Jumat.”
Hal ini bukan tanpa alasan. Bukan gempa yang
membuatnya berpikir seperti itu, tapi bunyi gemuruh likuivasi yang ia
dengarkan. Ia mendeskripsikan suara itu seperti bunyi suara orang yang sedang
menapis beras. Gempa yang ia rasakan di hari itu seperti sedang diayun, bukan
naik dan turun.
Hari itu ia sebenarnya hendak menuju hotel tempat atlet sepeda gunung tinggal. Ia menjadi bagian dari penyelenggara kejuaraan Nomoni Salena Downhill Race 2018 di Arena Downhill Bukit Salena di Palu, Sulawesi Tengah.
Kejuaraan nasional dalam rangka memeriahkan Festival Palu
Nomoni 2018 itu diikuti oleh atlet downhill dari berbagai daerah di Indonesia
dan berlangsung sejak 28 hingga 30 September 2018. Karena ada briefing singkat, ia menyuruh kawannya
menggatikannya sebentar. Lalu ia turun ke bawah dan dihantam oleh air laut yang
naik ke permukaan. Saat sadar, setelah pertemuaannya dengan anak kecil itu, ia
pergi menuju hotel tempat atlet itu tinggal. Lalu mencari jalan untuk mengantar
mereka ke bandara.
Ia sebenarnya hendak dievakuasi. Tapi ada kekuatan
yang entah darimana membuatnya memutuskan untuk menjadi relawan selama dua
minggu di Palu. Belum ada relawan yang datang pada hari itu. Warga yang selamat
bahu-membahu menolong warga lainnya yang terjebak. Berjalan dua hari, kelaparan
menjadi ancaman yang pasti datang. Ia berinisiatif membongkar satu gerai besar
yang menjual makanan, minuman, juga kebutuhan lain.
Hanya sekali ia memimpin pembongkaran gerai. Hal ini
ia lakukan setelah tak tega melihat seorang ibu dan anak bayinya kehausan dan
kelaparan. Saat hendak membongkar, di gerai-gerai itu ditempatkan seorang
penjaga. Awalnya penjaga itu menolak mereka. Tapi Bolang menjelaskan padanya
bahwa mereka tidak akan mengambil uang, hanya bahan makanan dan minuman saja.
Ia pun mengambil palu untuk membuka gembok gerai itu. Setelah itu, hanya empat
orang yang ia izinkan masuk untuk mengambil bahan-bahan dan dibagikan pada
warga.
Baru seminggu setelah Tsunami, bantuan datang. Juga instruksi untuk mengambil bahan makanan di toko-toko tertentu oleh Mentri dalam Negeri saat itu, Tjahjo. Saat itu Bolang melihat kondisi sudah mulai sedikit membaik. Tapi tidak dengan dirinya. Kondisi mentalnya diakuinya masih belum stabil.
Bahkan ia sempat terlibat cekcok dengan Tim SAR karena emosi melihat
mayat yang masih bergeletakan di mana-mana. Tapi setelah itu, ia membantu Tim
SAR mengevakuasi mayat. Setelah dua mingguan, ia akhirnya memutuskan untuk
pergi ke Makassar.
Tiga kisah berhadapan dengan kematian yang dialami
Bolang ini hanya kejadian paling nahas yang ia alami. Beberapa di antaranya tak
sampai membuatnya kehilangan kesadaran. Pada orang-orang yang sering hampir mengalami
kematian seperti Bolang, kehidupan seperti sedang bercanda pada nasibnya.
Apalagi ia pernah masuk ke dalam ruang tunggu antara hidup dan mati itu, sebuah
dimensi tak terbilang yang menolak deskripsi.
Mendengar kisah-kisah Bolang tak membuat saya tak
takut pada kematian lagi. Barangkali karena saya amat jarang berhadapan
dengannya secara langsung. Atau seperti kata Jalaluddin Rumi, “Jika kau takut
pada kematian. Kau takut pada dirimu sendiri”.