Tentu, bukan hal aneh dan asing jika
kita mendengar kata kreativitas. Akan tetapi, apa makna yang sebenarnya dari
kreativitas itu? Apakah hal itu merupakan sebuah kata kerja ataukah kata benda?
Jika benar kreativitas adalah sebuah
kata kerja, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah ia merupakan proses yang
membutuhkan kemampuan kognisi atau tidak? Atau, bagaimana jika sebaliknya:
kreativitas justru kata benda. Artinya, kreativitas adalah sebuah produk dari
semesta jagat kebendaan.
Lagi-lagi, pertanyaan mendasar untuk
diajukan ialah: apakah ia merupakan produk yang individualistik, ataukah justru
semacam produk dari pikiran kolektif?
Sehimpun pertanyaan di atas
merupakan pertanyaan kritis dan segar dari seorang Yasraf Amir Piliang, dalam
buku anggitannya: Medan Kreativitas, Memahami Dunia Gagasan. Sekotah
pertanyaan yang diwedarkan olehnya sangat berbeda dari apa yang banyak orang
pertanyakan perihal kreativitas.
Baginya, kreativitas adalah kata
kerja sekaligus kata benda. Sebab, kreativitas ternyata bukan hal yang gampang.
Ini berbeda dari anggapan banyak orang perihal kreativitas. Bagi mereka,
kreativitas dengan mudah didapatkan. Sebaliknya, bagi Piliang, kreativitas
justru membutuhkan kemampuan dan proses kognisi yang cukup berat, untuk tidak
mengatakannya sulit.
Olehnya, karena kreativitas
membutuhkan kemampuan dan proses kognisi, kreativitas ditujukan untuk
menelurkan dan melahirkan karya-karya yang kreatif serta orisinil. Artinya, kreativitas
merupakan sebentuk produk dari jagat perbendaan.
Kreativitas
bukan produk individualistik
Katanya, Indonesia adalah tanah
surga. Kekayaan alamnya yang berlimpah serta kebudayaannya yang heterogen.
Sayangnya, kekayaan alam yang melimpah ruah itu tidak dipergunakan secara
kreatif dan diniatkan untuk kebaikan bersama.
Kita adalah masyarakat yang melulu
didominasi oleh modus konsumerisme, membuat kita gagal mengolah kekayaan alam
yang berlimpah ruah dan keanekaragaman budaya menjadi sesuatu yang bernilai.
“Orang asing atau bangsa asing lain yang justru mengembangkan kekayaan dan
diversitas alam kita, mulai dari pelepah pisang, rotan, bambu, tenun, batik,
hingga minyak bumi, aneka mineral, hasil tambang dan hasil hutan” (h.19)
Pada sebuah masyarakat yang
diterungku oleh modus produksi kapitalisme global, membuat nasib setiap
individu selalu ditentukan oleh hukum kompetisi. Mereka yang menang akan
semena-mena menindas dan menguasai mereka yang kalah.
Kekuatan yang sangat dibutuhkan
untuk memenangkan pertarungan bebas tersebut adalah kreativitas. Semakin tinggi
daya kreatif dari seseorang, maka semakin sering ia tampil sebagai pemenang.
Dia yang semakin rajin menghadirkan kebaruan-kebaruan akan dipuja layaknya
berhala bagi mereka yang terhipnotis oleh kebaruan-kebaruan itu.
Akan tetapi, liberalisme dan
neoliberalisme yang menjadi semangat dalam moda kapitalisme, membuat
kreativitas yang dibutuhkan adalah kreativtas individual. Determinasi yang
dikukuhkan oleh kapitalisme mereduksi kreativitas hanya sebatas perseorangan.
“Tendensi individualistik dari liberalisme mereduksi daya kreatif hanya pada
kekuatan individu” (h.11)
Untuk mengolah dan mengembangkan
kekayaan alam dan diversitas budaya yang ada di Indonesia, tak hanya membutuh seorang
individu, melainkan banyak hal. Mulai dari politik, ekonomi, budaya, seni,
pendidikan dan masih banyak lainnya.
Misalnya, bagi rezim pemerintahan
yang lebih memilih privatisasi atau swastanisasi sebagai model ekonomi-politik,
cenderung mematikan pikiran kolektif masyarakatnya untuk mengolah hasil-hasil
bumi. Privatisasi atau swastanisasi membiarkan pihak swasta baik asing maupun
dalam negeri untuk memerawani bumi pertiwi dengan tujuan komersial belaka.
Setelah itu, sehabis bumi pertiwi
disetubuhi dengan tidak adil, privatisasi akan melahirkan masyarakat konsumsi.
Jean Baudrillard menamainya dengan masyarakat konsumer. Hal tersebut membentuk
paradigma masyarakat untuk mengonsumi secara terus menerus. Serta membekuk
pikiran kolektif untuk secara kreatif dan segar untuk memproduksi.
Jika seni mengandung nilai, maka
dalam masyarakat konsumsi, nilai yang dikandung oleh seni bertiwikrama menjadi
sesuatu yang sangat lain. Fetisisme komoditas, begitu Karl Marx menjulukinya.
Pada masyarakat konsumsi, komoditas yang sebenarnya tidak perlu dianggap
memiliki nilai seni tersendiri. Dan cenderung memapas pikiran kolektif untuk
membuat kesenian-kesenian baru.
Begitu juga dengan pendidikan.
Kampus yang memiliki pikiran kolektif untuk merayakan formalisme gelar belaka
dan status belaka, akan membredel kreativitas, inovasi dan membunuh otentisitas
para civitas academicus.
Sederhananya, “…kreativitas bukan
fenomena “individual”, melainkan fenomena “sosial”, yang melibatkan kerja sama,
kesalingberkaitan, kesalingbergantungan, kesalingpengertian secara mutual di
antara berbagai unsur-unsur yang terlibat dalam Ranah Kreativitas” (h.9)
Meneroka Ranah
Kreativitas
Untuk
menguatkan argumentasinya, Piliang menyitir Csikszentmihalyi, yang berpendapat
bahwa kreativitas bukanlah domain individu, tetapi domain sosial dan kultural.
Lebih lanjut Csikszentmihalyi menjelaskan tiga pilar kreativitas yang mesti
ada:
Pertama,
domain, yaitu seperangkat aturan atau pengetahuan simbolik yang dimiliki oleh
sebuah masyarakat. Seperti matematika, teknologi, sosiologi atau seni yang
berumah dalam satu atap kebudayaan.
Kedua,
ranah (field), yaitu seluruh individu yang bertindak sebagai penjaga
gawang domain. Tugasnya adalah untuk memutuskan apakah sebuah produk atau ide
baru dapat disertakan ke dalam domain.
Ketiga,
orang atau individu, yang dengan mengeksplorasi simbol-simbol di dalam sebuah
domain (musik, rekayasa, bisnis, seni) menghasilkan sistem, ide, prinsip,
bentuk atau pola-pola baru.
Mengubah disorder menjadi order
Pada
dasarnya, kreativitas adalah proses pikiran yang diniatkan untuk melahirkan
kebaruan dari pelbagai bahan atau unsur yang ada. Semakin sedikit bahan atau
unsur yang tersedia, jika berhasil diolah menjadi sebuah produk/karya, maka
semakin kreatif dan otentik produk/karya yang dihasilkan.
Mengapa
demikian? berikut saya kutip apa yang ditabalkan oleh Mihaly Csikszentmihalyi
dalam The Evolving Self: “…pada dasarnya pikiran manusia itu bersifat chaotic
atau disorder”.
Arkian,
pada hakikatnya, menjelajahi medan kreativitas adalah mencari order dari
disorder: menemukan keberaturan dari ketidakberaturan. Oleh karena itu,
kreativitas bukanlah hal yang mudah. Bukan juga bawaan lahir. Waima manusia
dilahirkan dengan kemampuan akal, tapi tetap, kreativitas adalah sebuah
konstruksi dari pelbagai unsur yang membutuhkan kemampuan dan proses kognisi.*
*Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute. Instagram: @ahmdnrfjrsy