Film hasil adaptasi novel Aravind Adiga ini, diawali dengan narasi yang cukup menarik dari Balram Halwai (Adarsh Gourav), tokoh utama sekaligus narator cerita, ‘maaf ini bukan awal yang bagus untuk bercerita, lagi pula, aku orang India, sudah menjadi tradisi kami selalu memulai segalanya dengan berdoa.’
Narasi ini dibingkai sebagai sebuah surel yang akan ia kirimkan pada Perdana Menteri Cina, Wen Jiabao, ketika sedang melawat ke India, dalam rangka kunjungan kenegaraan waktu itu. Narasi kemudian ditarik mundur ke belakang, menceritakan masa lalu Balram sebelum menjadi seorang entrepreneur kawakan.
Ia memulai bercerita soal masa kecilnya yang begitu kelam. Ia dibesarkan di sebuah desa kecil bernama Laxmangarh. Ayahnya seorang penarik becak barang, kakaknya bantu-bantu bekerja di kedai teh.
Seluruh sistem keluarga dinakhodai oleh sang Nenek,
Kumush (Kamlesh Gill). Mulai dari jatah makan, cara berdoa, dan setoran
masing-masing anggota keluarga yang bekerja.
Kondisi kemiskinan desa itu digambarkan cukup jelas dalam film ini. Banyak orang di desa mesti berutang, untuk keperluan sehari-hari, ke seorang pengusaha batu bara sekaligus rentenir yang akrab disapa Sang Bangau (Mahesh Manjrekar).
Kekelaman-kekelaman masa kecil di desa tempat ia dibesarkan itu dibingkai oleh Balram dengan narasi yang sangat sinis. Ketika beranjak remaja, ia merantau ke kota Dhanbad, mengambil kursus mengemudi. Setelah mahir, ia menuju rumah Sang Bangau dan diterima menjadi sopir kedua untuk putranya, Ashok (Rajkummar Rao).
Ketika Balram telah menjalani hari-harinya sebagai sopir, ia mesti puas bahwa ia hanya sopir kedua. Ia punya pesaing ketat, sang sopir utama. Namun, cerita menjadi sangat menarik di bagian konflik identitas yang juga telah banyak diangkat sebagai isu sensitif di India, majikan-majikan ini tidak senang mempekerjakan seorang Muslim.
Balram berhasil membongkar identitas yang disembunyikan oleh sang sopir utama. Sang sopir utama akhirnya didepak, meski telah mengabdi selama dua puluh tahun di keluarga itu. Bagian ini mengingatkan saya pada seorang kawan, yang terpaksa mengganti agamanya agar dirinya lebih mudah mendapat legalitas di negeri paman sam.
Pengejewantahan Simbol
Simbol pertama,di film ini, digambarkan bahwa India punya dua pembagian, India bagian terang, dan India bagian kelam. Kata terang dan kelam mewakili posisi si miskin dan si kaya dalam strata sosial.
Bahwa orang kaya punya banyak peluang untuk memilih hidup yang mereka jalani. Berbeda dengan orang miskin, mereka tidak punya sama sekali pilihan selain bertahan lalu mati.
Simbol kedua, kandang ayam potong yang ada di pasar. Isi kepala hampir seluruh warga miskin India sama, mereka sadar bahwa mereka hanya menjadi peranti paling kecil dalam tatanan sosial, tapi tidak kuasa keluar dari jebakan sistem itu.
Mereka tidak lebih dari kumpulan ayam potong yang meski, melihat ayam-ayam lainnya disembelih, mereka tidak berusaha keluar dari kandang itu, mereka hanya pasrah menunggu giliran dieksekusi oleh sang jagal.
Simbol ketiga, harimau putih. Jenis harimau yang konon, hanya sekali dilahirkan dalam satu rentan generasi hewan karnivora itu. Balram mendakwa dirinya harus menjadi jelmaan binatang itu, ia butuh memiliki nyali yang langka untuk mengubah taraf hidupnya, keluar dari nasib kemiskinan dan sistem kasta.
Ia juga, dalam narasinya membuat satire tentang kepercayaan pada nasib dan sistem kasta tersebut. Menurutnya, India di masa lalu, terdapat 1.000 kasta dan nasib. Namun dewasa ini, yang tersisa hanya ada dua kasta, pria berperut besar atau pria berperut kecil. Begitu pula dengan nasib. Hanya ada dua nasib, memakan atau dimakan.
Simbol keempat, komputer dan internet. Dua benda ini yang mengawali patron besar dalam perjalanan modernitas di era 2010-an, latar waktu film ini. Suatu ketika, Balram ditanya soal pengetahuannya tentang komputer oleh sang majikan, Ashok. Balram hanya bisa mengada-ada bahwa ia bisa ke pasar untuk mencarikan tuannya apa yang barusan ia sebut sebagai komputer.
Simbol kelima, patung Mahatma Gandhi. Patung tersebut dibingkaikan sebagai bentuk terdegradasinya nilai-nilai yang pernah diperjuangkan oleh sang aktivis kemanusiaan dan pembebasan ini. Ashok melintasi patung itu, ketika baru saja pulang dari menyuap tokoh partai nasionalis India yang kebetulan sedang menjabat eksekutif.
Paradoks Gagasan Resistensi
Perlawanannya atas takdir dimulai ketika Balram perlahan menghilhami apa yang diajarkan oleh Pingky (Priyanka Chopra Jonas), yang berperan sebagai istri dari Ashok yang juga lulusan Amerika. Kemudian rentetan kejadian meyakinkannya untuk mengambil jalan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.
Sebagai film yang mengemas satire dan melodrama sebagai unsur intrinsik penceritaan, film The White Tiger cukup penting ditonton untuk merasakan (feel) masyarakat kelas bawah India lebih dekat. Namun, film garapan Rahim Bahrani yang berusaha untuk mengejawantahkan simbol sebuah resistensi kelas sosial, meninggalkan kedangkalan di bagian akhir cerita.
Kedangkalan cerita tersebut disebabkan oleh transisi cerita zero to hero yang dikemas terlalu terburu-buru pada bagian akhir. Ditambah sudut pandang penceritaan yang dipilih, semakin ke sini, semakin terbatas. Narator yang sekaligus menjadi tokoh utama, terkesan sulit mengendalikan first person limited untuk menutup cerita.
Pada akhirnya, film ini pas ditonton sambil bersantai. Akting dari Priyanka, dan isu yang diangkat, memaniskan film ini. Meski kemasannya ringan, harus diakui bahwa film ini juga menawarkan beragam pintu masuk untuk diinterpretasi. Secara pribadi, film ini bisa menjadi tontonan rekreatif yang cukup reflektif dengan skor 8/10.
Pertanyannya, apakah untuk melawan nasib kita harus mengikuti opsi yang dipilih Balram? Film ini tidak menawarkan jawaban itu. Jawabannya bergentayangan pada realitas yang kita hadapi setiap hari.*
*Fadhil Adiyat, mahasiswa
jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Bergiat
aktif, belajar, dan berdiskusi di ruang-ruang tentang kehidupan, juga hal-hal
yang menyentuhnya. Dapat dihubungi melalui surel fadhil.adiyat@gmail.com atau via instagram @fadhil.adiyat