Aku langsung bergegas, mengemas semua barang di koper setelah orang pertama yang dulu mengabariku positif covid-19, kini menelpon kembali untuk memberitahu swab-pcr ketujuh hasilnya negatif. Kak Agus, petugas survailans di Puskesmas Tanralili, Kabupaten Maros, yang memantau perkembangan kesehatanku, ialah pembawa peringatan sekaligus pembawa kabar gembira.
Aku lega mendengar kabar sangat
baik itu. Namun, sebagaimana orang beriman pada umumnya, aku mestinya langsung
sujud syukur, hanya saja saat itu aku masih berada di dalam kamar mandi untuk
sikat gigi sehingga selebrasi kemenangan atas covid-19 tak segagah dan tak
semenakjubkan yang pernah kubayangkan.
Aku menjalani isolasi nyaris dua bulan, dan rindu pada anak biniku telah menumpuk berlapis-lapis seperti kadar lemak di perutku, yang sulit sekali dikurangi akibat anjuran kawan-kawanku untuk memakan apa saja yang aku mau dan yang rasanya enak semasa isolasi. “makan mi saja apa yang kau mau, cika, yang bisa bikin ko senang, jangan stres, jangan dulu takut ini itu”.
Mendengar mantra
itu, lewat aplikasi Gojek aku kalap memesan pentolan, siomay, sei sapi, ayam
goreng, dan banyak makanan ringan, ketika masih sering kedinginan di kamar sebuah
hotel yang berlokasi tepat di depan Tulisan Pantai Losari. Dan hasilnya sudah
kuduga; tekanan darah naik, berat badan naik, penghasilan mandek tak kunjung
naik. Goodbye covid-19, welcome back
obesitas.
Waktu
yang kunantikan akhirnya tiba. Badanku terasa lebih segar. Kepala yang sempat
penuh dengan pikiran negatif, mulai lebih enteng. Tuhan memang Maha Baik dan
Asyik. Aku memberitahu istriku perihal hasil swab-pcr yang menggembirakan itu.
Ia senang bukan kepalang. “Alhamdulillah” kurang lebih tiga kali ia ucapkan di
telpon dan memutuskan untuk menjemputku saat itu juga dari kabupaten Pangkep.
“Gas mi sayang. Santai saja nah”, kubilang padanya. “Tapi tetap hati-hati,
jangan lupa pakai masker, ingat pesan ibu”.
Setelah kurang lebih satu setengah jam menunggu, istriku tiba. Anehnya, sesaat setelah pintu mobil kubuka dan duduk di sampingnya, ada perasaan canggung. Kami berdua tersenyum ganjil, mirip seperti tujuh tahun yang lalu ketika ia jadi mahasiswa baru di kampusku.
Barangkali, covid-19 membuatku betul-betul terasing dan gagap
di hadapan dunia. Aku lalu menjulurkan tangan dan mengatakan padanya “Aku Mario,
seniormu satu tingkat di kampus dulu”. Dan air mata mengalir dari pipi istriku.
Napasnya turun naik secara tak teratur. Hanya isak yang terdengar
sunyi. Dan kau tahu, aku membiarkanya saja begitu, sebab masih terlalu parno
untuk bersentuhan langsung, menyeka air mata di wajahnya, atau menyapu lembut
kepalanya, atau memeluknya, meskipun virus bajilak itu sudah enyah dari tubuhku.
Beberapa hari setelah itu, hidup sepertinya tak akan pernah berjalan seperti biasa. Aku masih sangat berhati-hati ketika ingin menyentuh dan mencium anakku, Sabda. Padahal sudah agak lama aku tak menimangnya.
Saat itu, keberanian dan kasih sayang menjadi dua kutub yang seolah bersebrangan. Aku tak cukup berani menggendong Sabda karena aku menyayanginya. Ketika aku mulai berani mencium pipinya yang bulat dan menggemaskan, pikiran bahwa aku pernah terinfeksi covid-19 dan dicap telah menularkan ke banyak anggota keluarga yang lain sampai mertua laki-laki atau bapaknya istriku meninggal, sering muncul tiba-tiba.
Aku pun
mengurungkan niat menyentuhkan bibirku ke permukaan kulit Sabda. Aku
betul-betul merasa seperti manusia berlumur lumpur dan dosa, yang enggan
membuat orang lain ikut kotor dan jatuh sakit..
Pasca digebuk pandemi dengan gejala yang nyaris berat, hidup jadi dingin. Mungkin karena mulai terbiasa melalui hari demi hari dengan seorang diri, hanya berkawan bantal, hp, dan televisi.
Di masa isolasi di Rumah Sakit, aku memang tak sepanjang waktu sendiri. Ada perawat yang tiap hari membawakanku obat, mengantarkan makanan sambil memberi beberapa kalimat motivasi, mengganti sprei, memasangkan infus dan oksigen saat aku sesak, memintaku memakai nebu saat lendir di kerongkonganku harus dikeluarkan.
Istri, keluarga dan kawan-kawanku
juga tak henti menanyakan kabarku, menanyakan apa kebutuhanku, mengisikan aku
pulsa untuk membeli kuota, meminjamkanku akun Netflix, (kuota dan Netflix
adalah sebaik-baiknya bantuan untuk orang yang isolasi) dan menanyakan bantuan
apa lagi yang bisa mereka berikan.
Di hotel beda lagi. Di sana ada seorang lelaki yang agak flamboyan, ia konselor kesehatan mental. Aku pernah ngobrol panjang dengannya lewat telpon hotel perihal hidup yang kian beringas di seperempat abad pertama, yang diperparah wabah merajalela. Sesi itu memang fasilitas yang didapatkan penyintas untuk meredam emosi yang mungkin tak terkontrol.
Aku sempat mengalami insomnia berhari-hari. Gusar dan beberapa kali menangis sampai dadaku sesak. (Oiya, orang yang terinfeksi virus covid-19 boleh-boleh saja bersedih, tetapi sebaiknya jangan sampai menangis sesegukan, karena hal itu bikin energi terkuras dan bisa memicu sesak napas yang berbahaya) Covid-19 benar-benar tengik dan aku dipaksa mencicipinya.
Diriku sampai dihantui rasa bersalah yang rumit. Setelah banyak
memuntah-curahkan isi kepala dan perasaan dengan nyaris meledak-ledak kepada
konselor itu, aku memang merasa lebih adem, lebih tenang. Pola tidurku juga
berangsur normal. Di ujung telepon, ia kemudian menyarankanku untuk lebih rajin
melakukan banyak hal kecil untuk keluarga. Apapun itu yang kau bisa, katanya.
Keinginan adalah
keinginan adalah keinginan...
Sebetulnya, sebelum dihantam pagebluk sialan ini, aku sempat berjanji pada istri dan anakku untuk mengajak mereka berlibur. Menginap di hotel dengan pemandangan pantai indah di Bulukumba, makan di beberapa warung ayam lalapan dan ayam geprek andalan saat kami mahasiswa, belanja buku, jajan skincare, beli baju band idola, berburu parka di lapak cakar langganan, dan belanja perintilan untuk segala kebutuhan Sabda.
Untuk mewujudkan itu semua, aku mulai menabung. Mencari pekerjaan
tambahan. Membuka jasa titip barang. Menerima pesanan artikel dan desain.
Berhemat. Bahkan, pernah jatah makan harian kukurangi. Hanya nasi, telur mata
sapi, dan kecap manis malika, yang hitamnya pekat dan punya aroma yang sedikit
lebih nikmat.
Saban
hari aku berdoa agar semua yang kuinginkan itu cepat terkabul. Ketika dompet
sudah mulai terisi tetapi tak tebal-tebal amat, aku dan keluarga kecilku
berangkat ke Makassar dari Kotabaru, Kalimantan Selatan, untuk melingkari semua
daftar rencana dan keinginan kami. Namun, keinginan adalah keinginan adalah
keinginan. Apa boleh buat. Manusia sebagai hamba, yang kecil, lemah, tak
berdaya di hadapan Yang Maha Ada, hanya bisa punya mau. Yang Maha Oke-lah yang
punya kuasa penuh untuk meng-acc semuanya.
Meski sudah taat prokes, aku kemudian tetap saja positif terinfeksi covid-19. Entah bagaimana mulanya proses sehingga aku tertular, aku juga tak mengerti. Aku sempat berpikir kenapa virus ganas penginfeksi sistem pernapasan tak kasat mata itu menyerang keluargaku dan bukan orang lain, kenapa ia menghujam kehidupanku kini, saat rencana bervakansi belum tuntas dan bukan nanti.
Aku seketika teringat pada satu esai panjang Gonawan Mohammad berjudul Debu, duka, dsb. yang ditulisnya untuk merefleksikan bencana tsunami Aceh tahun 2004. “Kemalangan begitu luas dan kematian begitu mendadak, dan kita” ujar Goenawan “tampaknya tak bisa melepaskan diri menghadapi tanda tanya buram di sekitar nasib, ketidakadilan, dan putus asa.”
Namun, kemana aku harus menggugat semua itu? Hidup terlalu abstrak dan samar. Satu hal yang kutahu persis bahwa semua rencanaku gagal. Dan segala-galanya ambyar.
Dan
sebagai manusia normal, aku dan keluargaku bersedih. Sejumlah pesan lantas
masuk lewat telpon genggamku yang penuh dengan kata-kata: sabar, ikhlas, semangat,
jangan lupa berdoa, jangan lupa bahagia, jangan lupa bertobat karena ini ujian
bagi manusia penuh dosa. Kalimat yang terakhir itu, tentu saja datang dari
kawan-kawanku yang kedap nalar dan brengsek.
Setelah
nyaris dua bulan menjalani kesendirian, kesepian, dan gabutnya isolasi, setelah
banyak menamatkan podcast beraneka tema dan pelbagai video di Youtube, dari
yang membahas tentang sex life, komedi, kultum pemuda tersesat, teknik memaki
orang lain dengan bijak, setelah membaca dua atau tiga buku, akhirnya aku
berpikir untuk menyederhanakan keinginan mengajak keluarga berlibur dan jajan
macam-macam yang sebelumnya kurasa agak terlalu lewah. Waktu itu, aku
memutuskan hanya ingin mengajak Uzdah dan Sabda untuk berfoto di studio. Ya itu
saja. Mungkin, itu dulu obat sederhana bagi hidup yang sempat dirundung mala.
Waktu berlalu. Pasca sembuh dan mulai beradaptasi di dunia yang masih mengkhawatirkan ini, aku menunaikan janjiku; mengajak Uzdah dan Sabda berfoto di studio sebelum aku harus kembali ke tempat kerja di provinsi yang berbeda. Ada beberapa drama sebelum berangkat ke studio. Kami bingung memakai baju yang mana, warna apa, dan apakah rambutku harus belah pinggir atau diacak-acak saja layaknya kehidupan manusia abad ini. Sejak awal, kami lupa untuk menentukan pakaian apa yang akan dikenakan untuk ke studio. Jadilah semuanya seperti mendadak.
Sesampainya di studio dan berfoto sebanyak 60 kali berganti gaya, kami
cukup merasa lelah. Sabda menangis minta ASI dan dua kali ganti popok. Kami pun
memutuskan minum Thai tea, brown sugar boba, dan mencicipi burger di pinggir
kali bersih Pangkep. Aku tentu saja senang, sudah lama kami bertiga tidak
kencan seperti itu.
Namun, aku juga sekaligus merasa sedih sebenarnya. Agaknya benar, bahwa hidup hanya bergerak dari satu kesedihan ke kesedihan yang lain. Sebab tak lama lagi hanya bisa melihat mereka berdua dari layar ponsel. Lewat video call atau telepon semata. Lewat momen yang telah tertangkap oleh kamera belaka. Dongkol rasanya ketika menyadari waktuku bersama keluarga tak lama lagi.
Tambah pilu rasanya ketika teringat bahwa aku, sebagai seorang
abah, belum bisa memenuhi keinginan kami sebelum berangkat ke Makassar untuk
jalan-jalan dan jajan sesuatu yang bikin kami girang. Aku harus kembali ke
habitatku, bekerja di puskesmas terpencil di pedalaman Kalimantan Selatan,
sebagai epidemiolog cum penyuluh
kesehatan. Di sana, pekerjaan telah menunggu untuk disapu bersih sebelum akhir
tahun 2020 yang masygul.
Tetapi, aku ingin berusaha menjalankan sebuah seni bersikap bodoamat, seperti anjuran Mark Manson di buku bersampul oranye yang isinya lumayan seru dan laris manis itu.
Ya, hidup memang sepertinya begitu. Tak apa kalau semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Itu hal yang biasa. Gas saja. Menangislah jika harus menangis karna kita manusia biasa. Katanya semua mimpiku akan terwujud tapi mereka lupa dengan mimpi yang horor dan teramat buruk. Hidup memang berjalan seperti bajingan dan kita dipaksa untuk menikmatinya, sebab hanya itu yang kita punya.*
*Mario Hikmat, penyintas covid-19.