Memasuki
Februari yang basah, semarak menuju hari Valentine mulai begitu terasa,
rupa-rupa hiasan bernuansa merah muda bermunculan di sepanjang saya berjalan
menyusuri apartemen menuju ruang kelas. Musim dingin masih memaksa diri
saya mengenakan dua rangkap jaket. Saya sedang menuju kelas pagi, kelas
saya terletak di Siceluff Hall, saya bergegas menuju perhentian bus, agar tidak
mesti jalan kaki di udara yang terlampau dingin untuk kulit kampungan tropis saya.
Sembari
menunggu di depan lift, yang amat sibuk bolak-balik mengantar mahasiswa lainnya
naik turun, mata saya tertuju pada sebuah mading. Di sana, terpasang sebuah selebaran
mirip undangan, atau lebih tepatnya poster promosi salah satu
kedai kopi di Walnut Street, satu blok dari tempat saya tinggal. Mereka
mengundang pelanggan untuk datang minum dengan promo, Celebrate lovely
month with your lovely one: Buy one get one free, yang berlaku
sampai akhir Februari. Pintu lift terbuka, saya masuk, turun ke lobi, melanjutkan
perjalanan menuju perhentian bus kampus.
Di dalam bus,
kepala saya masih melamunkan poster yang baru saja mata saya
lihat. Alih-alih tergerak untuk datang, lagi pula, tidak ada yang bisa diajak
waktu itu, saya tiba-tiba teringat poster di sebuah mading musala, di kampus
tempat saya belajar di Makassar. Bedanya, poster itu amat kontradiktif dari
yang di depan lift tadi.
***
Perayaan hari
valentine di Indonesia, sudah beberapa tahun belakangan dikecam begitu keras
oleh golongan Islam konservatif. Pelarangan ini disebarkan melalui kanal-kanal
media sosial yang mudah akses seperti Facebook, Whatsapp, dan Instagram.
Pelarangan itu sering diawali dengan ‘Valentine Bukan Budaya Kita’ atau ‘Muslim
Tidak Merayakan Valentine’, disertai dengan dalil dan ayat tertentu.
Meski sudah dipelesetkan
dan dijadikan bahan meme oleh banyak orang soal slogan-slogan itu. Tampaknya,
hal tersebut tidak menghentikan semangat golongan ini, termasuk kawan baik saya
untuk terus mengampanyekan pelarangan itu. Sampai-sampai, banyak juga saya
temukan penjabaran secara historis apa dan mengapa hari Valentine itu ada. Saya
kepalang kagum pada bagian ini. Saya bisa tahu banyak soal Valentine
dari mereka yang justru melarang?
Tanpa
mengurangi tabik pada segala upaya menyebarkan syiar golongan tertentu, dua
poster yang saya temukan, di dua tempat yang berbeda itu membawa pengalaman
filosofis tersendiri bagi saya. Yah, yang namanya filosofis,
agak sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Memasuki
Februari yang hujan, setelah pulang kembali ke Indonesia. Dalam kurun waktu
dekat, mungkin poster iklan yang pernah saya lihat di negeri Paman Sam sana, akan
dipajang kembali oleh bagian pemasaran kedai kopi itu lagi, kemungkinan besar ada perubahan
dari segi promo yang ditawarkan, atau dari segi desain poster berbentuk lain selain
undangan.
Setali tiga
uang, di sini, demikian kampanye berupa selebaran, larangan
merayakan Valentine itu akan bermunculan pula. Hanya barangkali
karena situasi pandemi, poster dekat musala itu tidak dipasang sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya.
Di media sosial,
kita juga akan kembali mendapati banjir informasi oleh larangan-larangan
itu. Kadang juga telah dipadukan dengan bumbu keminggrisme ‘I am Muslim and I Don’t
Celebrate Valentine’.
Konten-konten
larangan merayakan Valentine akan berubah menjadi seperti air bah informasi,
mengalir deras melalui ruang-ruang daring yang kita genggam sehari semalam.
Kehadiran konten-konten itu akan membludak, kemudian ditambah lagi dengan bumbu
perdebatan kusir virtual yang membuatnya makin sedap, meski sudah sedikit
garing untuk dilihat. Saking membludaknya, perdebatan itu malah lebih
semarak dibanding acara Valentine itu sendiri. Ia menjadi perayaan tersendiri.
Bukankah
kadang, justru orang yang anti-valentine-lah sebenarnya yang membuat kita mengingat hari Valentine.
Jauh sebelum hari itu tiba, mereka yang berjibaku sebagai admin
akun dakwah, sudah menyiapkan konten yang akan diunggah mendekati hari H.
Padahal, kalau saja mereka cukup diam, tenang, dan tidak ribut. Besar
kemungkinan, kawan-kawan kita, khususnya kaum rebahan, tidak begitu ingat hari
dan tanggal berapa sekarang. Ada kemungkinan untuk hari Valentine lewat begitu
saja.
Perayaan
Valentine yang datang dari Eropa sana, kemudian dipopulerkan oleh Amerika
rupanya menciptakan sebuah dinamika tersendiri di Indonesia. Selain
pertentangan dari kelompok konservatif, perayaan ini turut disertai dengan reaksi
pemerintah yang melakukan razia alat kontrasepsi. Sebagaimana pada akhir
tahun.
Sebagai negara
yang masih rendah dalam hal pengaplikasian edukasi seks, Indonesia justru
merazia hal-hal yang mungkin saja dapat mencegah angka-angka kehamilan di luar
nikah untuk remaja. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun
2017, angka kehamilan remaja di luar nikah meningkat lebih dari 500 kasus
setiap tahunnya, angka ini tentu saja mengkhawatirkan, jika tidak tercipta
kesadaran kolektif oleh pihak-pihak terkait. Kita perlu
mencari solusi untuk terus menerus menyampaikan pentingnya edukasi seks yang komprehensif.
Angka-angka yang terus naik setiap tahun itu tidak
kunjung membuat pemerintah sadar betapa edukasi seks sangat penting diajarkan
di rumah dan di sekolah. Elizabet Nash, dari
Guttmacher Institute, bahkan mengatakan bahwa edukasi seks adalah bagian dari life-skill
yang mesti dipelajari dengan baik oleh remaja.
Jika dalih
pemerintah merazia alat kontrasepsi menjelang hari-perayaan tertentu
seperti Valentine, karena rentannya penyalahgunaan, mestinya pemerintah
dapat melakukannya dengan lebih mengedepankan aspek edukasi ketimbang sekadar
aspek religi dan norma moral masyarakat. Remaja bukan robot yang dapat
dikontrol melalui sistem program tertentu. Mereka memiliki jiwa muda yang
membara-bara. Alat dan komponen yang dimiliki pemerintah untuk merazia,
terbukti tidak menghentikan laju kenakalan remaja. Tidak adanya hasil
evaluasi yang signifikan terhadap hal tersebut, dapat
menjadi bukti kuat, betapa razia tidak terlalu efisien untuk mencegah remaja
masuk ke dalam kekeliruan, penyaluran hormon tetosteronnya.
Pemerintah dan
golongan konservatif sangat berhak menolak
budaya yang dianggap kontradiktif dengan budaya lokal Indonesia, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai moral (pun jika memang kita
benar peduli dengan lokalitas), tetapi mengapa pendapat-pendapat
yang bersifat melarang itu justru lebih sering terlihat pincang dan tidak subtansial?
Kita hendak menyaring kebudayaan yang masuk ke dalam lingkup sosial kita, tetapi
enggan berbicara seputar budaya
sesederhana membuang sampah di tempatnya, atau sekadar
taat berlalu lintas? Mengapa tidak sekalian menolak Valentine
sebagai aspek budaya barat yang sangat kapitalis itu,
dengan meninjaunya dari sudut pandang ekonomi?
Penjualan
coklat yang meningkat drastis mendekati perayaan Valentine, justru
tidak memberikan kesejahteraan yang mentereng pada petani kakao. Kakao yang
merupakan bahan dasar coklat itu,
pernah menjadi tanaman komoditas berjaya di era 1980-an di Indonesia.
Sayangnya, tahun kejayaannya kini usai dan redup. Saat
ini sentra produksi kakao semakin memprihatinkan. Para petani mulai mengeluhkan
tingkat produksi yang terjun drastis. Hal itu, sedikit
banyaknya, tidak lepas dari tingkat kesuburan tanah yang tidak lagi
seperti dulu.
Upaya
revitalisasi kakao sejak 2009, guna meningkatkan produksinya, terbukti belum
memberikan dampak yang istimewa. Hal ini tidak lain karena posisi
kakao yang hanya menempati posisi keempat komoditas ekspor setelah sawit,
karet, dan kelapa. Belum lagi, tanaman kakao dikelola oleh 90% petani kecil,
bukan korporasi besar yang lebih sering diprioritaskan oleh para pengampu
kebijakan. Kakao juga masih diekspor dalam bentuk biji
mentah, bukan yang hasil olahan. Hal tersebut menciptakan gap dari segi harga di kancah
pasar internasional. Jika penjabaran tersebut disuarakan oleh kaum
anti-valentine, saya dengan senang hati turut diri. Kita akan lantang bersuara
melarang perayaan Valentine karena perayaan ini tidak peduli, apalagi
mengelevasi taraf hidup petani-petani kakao.
Meninjau
Valentine dari segi sistem ekonomi kapitalis hanyalah satu sisi, di sisi
lainnya, kita dapat menawarkan hal yang lebih
cenderung solutif. jJka golongan anti-valentine tetap kukuh untuk melakukan
kampanye setiap Februari. Ada baiknya jika mereka juga kampanye kesadaran
lingkungan karena sama-sama bersifat penyebarluasan informasi. Alangkah
persoalan lingkungan jauh lebih subtansial ketimbang sekadar menitikberatkan
sebuah kampanye yang mengurusi iman orang lain.
Di Indonesia, Februari
adalah bulan yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Di sepanjang Februari
saja, di Jawa Barat, tercatat 27 bencana alam telah terjadi di pekan
pertama. Belum lagi, Januari kemarin, air mata kita belum kering
akibat gempa, longsor, dan banjir yang terjadi di berbagai wilayah. Banjir di
Kalimantan Selatan misalnya, dengan sangat kontras dapat kita sadari bahwa
banjir tersebut bukan lagi sekadar bencana alam. Tapi, dampak dari perilaku
keserakahan pemerintah manusia yang merasa tidak perlu bertanggung jawab
atas dunia yang sedang mereka tempati. Dogma akhirat yang kadang terlalu
melenakan, membuat sebagian orang lupa bahwa dunia
ini, berhak dirawat sebaik-baiknya sebagai tempat hidup. Dogma
picik tersebut menjadi salah satu karpet merah untuk melenggangkan
aturan-aturan seperti Omnibus-Law yang tidak
sama sekali berpihak pada aspek pelestarian
lingkungan.
Kesadaran akan
dampak kerusakan lingkungan mesti dikampanyekan oleh banyak orang, termasuk
yang merasa dirinya cukup beriman. Berhubung data terakhir dari statista.com,
masyarakat Indonesia masih menduduki masyarakat paling tidak peduli (denial)
terhadap perubahan iklim dan pemanasan global akibat aktivitas manusia. Kita
hanya selisih dua persen, di atas Amerika yang telah mempopulerkan Valentine
sebagai bagian dari budaya pop.
Indonesia
sebagai negara dengan potensi bencana alam yang cukup rentan,
semestinya memiliki alternatif kampanye-kampanye segar lain selain kampanye
menolak Valentine. Mengampanyekan kesadaran lingkungan akan jauh lebih bernilai
rahmatan lil-alamin, ketimbang sekadar melarang orang lain mengikuti sebuah
tren. Bukankah masyarakat kita memang sudah tak terelakkan (inevitable)
dari tren yang terkontaminasi dengan
budaya luar? Perkakas rumah, gawai yang kita genggam, dan segala alat yang
kita gunakan setiap hari, bukankah hampir semuanya
datang dari negara yang tidak terlalu mementingkan akidah?
Dari negara-negara yang merayakan Valentine?
Pada akhirnya,
Valentine sebagai representasi atas cinta,
seperti apa yang telah dipopulerkan Amerika, dapat
dilihat dari aspek-aspek yang lebih rasional.
Tidak melulu selalu meresponnya dengan pandangan agama. Respon kita
semestinya dimutakhirkan ke hal-hal yang lebih subtansial. Kita mencintai agama
dan keyakinan, berarti mencintai apa yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang
berbeda pandangan, ketidakmampuan, dan kompleksitas
lainnya hanyalah sebuah dinamika kecil, dalam
perjalanan sebagai bangsa yang beranjak dewasa. Kita jangan terjebak pada ego
kelompok. Atau individualitas ganjil. Semua itu akan mengantar kita
pada hidup yang hambar. Terlalui begitu saja.
Kepada
semua orang, baik yang merayakan dan tidak merayakan Valentine. Kita bisa
mengingat-ingat lagi apa yang pernah dikatakan oleh George Sand “There is
only one happiness in life: to love and be loved.” Satu-satunya pintu masuk
menuju kebahagiaan hanya dua: mencintai atau dicintai. Maka darinya, jangan
pernah menghadapi dunia ini tanpa cinta.