• Perempuan, Hujan, dan Banjir



    Sembilan tahun lalu perempuan itu mengikuti suaminya hijrah ke Makassar. Mereka menyewa rumah di dekat salah satu perempatan jalan BTN Asal Mula, Tamalanrea. Rumah itu berukuran 4x12 meter. Empat meter bagian depan mereka gunakan untuk berjualan gadde-gadde.

    Setiap pukul enam pagi, ia mulai membuka pintu rumah dan pagar, yang berarti waktu berjualannya dimulai. Tak lama setelahnya, seorang perempuan yang seusia dengannya akan datang menitip donat dan jalang kote’ untuk ia jual.

    Di sela mengurus jualan, ia mempersiapkan sarapan bagi anaknya yang sudah mengeyam bangku kelas tiga sekolah dasar. Ia akan membangunkan suaminya jika anaknya sudah siap berangkat. Bila pakaian kotor mulai menumpuk, ia menambah daftar kegiatannya dengan mencuci.

    ***

    Di salah satu sore pada Januari tahun 2015, hujan mengguyur Makassar. Saat selokan di depan dan samping rumahnya tampak hampir penuh, ia mulai mengeluarkan satu per satu pakaian yang tersimpan di lemari bagian bawah.

    Sebagian di antaranya ia sisipkan pada bagian paling atas lemari. Sebagian lainnya ia tata rapi di atas ranjang. Dua anaknya yang ketika itu masing-masing berumur lima dan tiga tahun, masih terlihat asyik menonton televisi, walau suara televisi tenggelam oleh hujan yang menghantam seng rumah.

    Sementara suaminya sibuk mengangkat beberapa kardus yang berisi barang dagangan ke atas lemari.  Kardus yang tersisa di lantai, ia letakkan di potongan balok yang disusun persegi dengan tinggi kira-kira 50 cm .

    Hal serupa ia lakukan pada lemari pendingin yang berisi beberapa jenis minuman dan ice cream. Terminal listrik yang tergeletak di  lantai, ia gantung di salah satu paku yang tertancap di dinding.

    Lebih dari satu jam, belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Air dari selokan mulai meluap dan memasuki halaman rumah. Tidak berselang lama, air selokan melewati halaman dan mulai menggenangi lantai rumah.

    Beruntung, genangan itu tetap berada di bawah mata kaki. Barang jualan tetap dalam posisi aman. Mereka enggan mengungsi. Mereka tetap membuka kios dan berjualan. Perempuan itu dan suaminya hanya perlu membersihkan lantai rumah dari sisa kotoran air selokan ketika banjir telah surut.

    Beberapa kawasan di Makassar hari itu turut terendam. Dari pantauan Tribun Timur, genangan air di Jalan Sungai Cerekang di kawasan Pusat Kota Makassar  mencapai tinggi lutut orang dewasa.

    Mobil sejenis sedan tidak dapat melintasi jalan tersebut. Motor matic yang dipaksakan melintas terpaksa didorong karena mogok. Begitu pun dengan ruas jalan Penghibur di kawasan Pantai Losari. Debit air nyaris mencapai lutut. Terutama di depan halte BRT Losari. Ruas jalan ini berada di dekat sebuah saluran pembuangan air. 

    Tribun Timur juga melaporkan, Walikota Makassar menyebutkan bahwa penanganan banjir dari tahun ke tahun sudah cukup baik. Walikota mengambil contoh perbandingan penanganan banjir di tahun 2013 dan 2014 yang dirilis oleh BPBD.

    Tahun 2014 jumlah rumah yang terendam mengalami penurunan. Tahun 2013, rumah yang terendam sebanyak 2.188. Tahun 2014 turun menjadi 356 rumah. Begitu pun dengan jumlah pengungsi. Dari total 10.797 jiwa turun menjadi 1.681 jiwa.

    ***

    Perempuan itu bersyukur, karena banjir tahun ini tidak separah banjir pada tahun pertama ia bermukim di Makassar. Pengalaman pertamanya berhadapan dengan banjir terjadi pada akhir tahun 2012.

    Air sudah mencapai betisnya saat ia meminta suaminya mengemas beberapa pakaian dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengungsi. Anak pertamanya saat itu masih berusia 3 tahun sehingga harus digendong.

    Baginya, menggendong anak bukanlah perkara yang sulit ketika ia hanya membawa diri. Namun saat itu, ia harus menggendong dua anak sekaligus. Anaknya yang pertama, dan janin di rahimnya yang berusia tujuh bulan.

    Setelah pakaian dikemas, ia menyerahkan anaknya kepada suaminya. Lalu mereka mulai berjalan keluar rumah. Ia berjalan dengan penuh kehati-hatian, tanpa pegangan suami. Tangan kanan suaminya menggendong anak, dan tangan kirinya mengangkat buntalan sarung yang berisi pakaian. Tinggi air semakin naik. Pinggang orang-orang yang berjalan di ruas jalan yang terletak 100 meter dari rumahnya sudah terendam.

    Mereka berjalan sembari berpikir akan mengungsi ke mana. Di depan kontrakan mereka ada rumah berlantai dua, namun ia enggan mengungsi di tempat itu. Mereka belum saling mengenal. Menurut pengamatannya, hampir setiap hari rumah itu selalu tertutup. Ia melihat penghuninya hanya ketika akan keluar rumah di pagi hari, dan hendak masuk rumah saat petang hari.

    Di belakang rumahnya, terdapat sekretariat organisasi mahasiswa sedaerahnya. Namun posisi sekretariat itu lebih rendah dari kontrakannya sehingga genangan air di rumah itu lebih tinggi. Mahasiswa di sana tidak dapat dimintai pertolongan karena saat itu kampus sudah memasuki waktu libur. Semua penghuninya sedang pulang kampung.

    Pilihan paling memungkinkan ialah rumah yang terletak di samping kontrakan. Rumah yang ditempati oleh pemilik kontrakan. Dasar lantai rumah itu 20 cm lebih tinggi dari kontrakan yang ia tempati. Suaminya akrab dengan pemilik kontrakan, sehingga mereka diperbolehkan mengungsi untuk sementara waktu.

    Genangan air masih menjangkau tubuhnya. Raut wajah suaminya mulai memperlihatkan kecemasan. Suaminya tidak ingin membiarkannya terlalu lama terendam air. Suaminya mengkhawatirkan kesehatannya. Juga kesehatan anaknya.

    Beruntung saat itu ada meja yang cukup tinggi dan merapat di salah satu dinding rumah. Permukaannya tidak tersentuh oleh air. Di sanalah ia didudukkan bersama anaknya oleh suaminya untuk beristirahat dan bersandar. Sementara suaminya duduk di atas motor.

    Ia lebih banyak terjaga sepanjang malam, ia harus memastikan anaknya tidak banyak bergerak agar tidak terjatuh. Sesekali suaminya menengok untuk memastikan keadaannya. Ia memanggil suaminya untuk menjaga anaknya ketika ia hendak ke kamar mandi. Ini salah satu bagian tersulit yang harus ia lalui.

    Kamar mandi yang ikut terendam mengharuskan pakaian luar dan dalamnya ikut basah. Baginya, tidak mungkin menukar pakaian karena meja yang ia tempati berada di ruang tengah. Sementara di dalam kamar tidak ada tempat berpijak yang lebih tinggi. Ia harus menerima ketidaknyamanan memakai pakaian basah sepanjang malam.

    ***

    Perempuan itu menganggap banjir yang terjadi tahun 2012 silam adalah siklus 10 tahunan. Informasi itu ia dapatkan dari warga yang lebih dulu mendiami tempat itu. Menurut mereka, banjir serupa terakhir terjadi tahun 1999. Berdasarkan informasi ini, ia mulai berasumsi jika banjir parah selanjutnya akan terjadi di tahun 2022 ke atas.

    Ada juga yang beranggapan jika banjir yang terjadi adalah dampak dari selokan yang tersumbat. Mendekati musim hujan di akhir tahun, ia dan beberapa warga atas arahan pak RT menyisihkan waktu untuk membersihkan selokan. Mereka mengangkut sampah dan tanah yang menyebabkan selokan menjadi dangkal.

    “Apa pun yang kita lakukan jika terjadi pasang di laut, itu otomatis terjadi genangan di saluran drainase,” ucap kepala Dinas Pekerjaan Umum, M.Ansar kepada Tribun Timur pada akhir tahun 2015. Menurutnya genangan yang terjadi pada sejumlah ruas jalan di Makassar disebabkan air pasang di laut Makassar sehingga saluran kanal meluap.

    Air di kanal mengirim air ke drainase dengan volume yang besar ditambah dengan hujan yang mengguyur Makassar. Khusus air yang menggenangi ruas jalan A.P. Pettarani, menurutnya itu disebabkan oleh luapan kanal Sinrijala yang berada di sebelah timur ruas jalan tersebut.

    Penggalian selokan secara rutin oleh penduduk setempat dianggap cukup efektif. Hingga tahun 2017, selama musim hujan, genangan air yang sampai ke dalam rumah paling tinggi sampai mata kaki. Kadang juga genangan air hanya sampai di halaman rumah.

    Namun musim hujan tahun 2018 menyebabkan genangan air lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni setinggi paha orang dewasa. Beberapa barang dagangannya yang baru masuk sehari sebelum banjir ikut terendam. Setengah bagian dari lemari pendinginnya juga demikian. Balok penyangga yang ia pasang dua tahun lalu, sudah tidak berguna. Ia harus menutup kiosnya. Genangan air yang tinggi tidak aman bagi kedua anaknya. Anaknya yang pertama digendong oleh suaminya. Sementara anaknya yang kedua digendong olehnya. Bersama suaminya ia mengungsi ke salah satu rumah kerabatnya di jalan Antang Raya.

    Setiap sore, suaminya datang untuk mengecek barang dagangannya. “Bahaya ko mappakue ndi, maderri makencang fangae” (bahaya kalau keadaannya seperti ini, biasa banyak pencuri), kata suaminya. Hal itu dilakukan oleh suaminya hingga air benar-benar surut.

    Beberapa barang dagangan yang terendam dan rusak harus ia buang. Ice cream yang ia jual mencair karena sewaktu banjir suaminya mencabut colokan lemari pendingin, karena khawatir terjadi koslet. “Rogi ki’sih”, keluhnya. Ia heran, karena belum cukup 10 tahun banjir serupa di tahun 2012 kembali terjadi.

    Kali ini ia tidak hanya mengepel lantai saat air surut. Tapi seluruh barang dagangan di dalam lemari harus dikeluarkan. Yang rusak dibuang, yang sekedar kotor harus dibilas. Masing-masing dua lemari kayu dan lemari kaca harus dibersihkan. Begitu pun dengan perabotan dapur yang terendam. Pakaian kotor yang digunakan selama mengungsi harus dicuci.

    Tahun berikutnya, tepatnya di awal tahun 2019, banjir kembali terjadi. Tingginya sampai pinggang orang dewasa. Ia kembali mengungsi. Kali ini bebannya bertambah. Selain harus memikul anak keduanya, ia juga harus membawa anak ketiga yang sedang di kandungnya. Hal yang menyulitkannya saat banjir adalah pakaian. Berbeda dengan laki-laki, menurutnya perempuan lebih banyak membutuhkan pakaian.

    Kali ini suaminya menyalahkan pembangunan jalan beton di depan rumahnya pada akhir tahun 2018 lalu. Jalan yang dibangun cukup tinggi. Sekitar 30 cm lebih tinggi dari lantai dasar rumah warga, dan 15 cm lebih tinggi dari selokan. Hal itulah yang menyebabkan air cepat merembes masuk ke rumahnya.

    Mereka tidak menyadari bahwa selama dua tahun terakhir, beberapa petak tanah kosong di kompleks BTN Asal mula telah digunakan untuk membangun kos-kosan. Ia tidak menyadari truk yang pernah lalu lalang di sekitar rumahnya mengangkut tanah untuk menimbun rawa-rawa yang berada sekitar 150  meter di belakang rumahnya.

    Walau penggalian selokan rutin dilakukan, tanah-tanah kosong di sebelah barat perumahan Bumi Tamalanrea Permai – sekitar 5 km dari kontrakan perempuan itu -- juga tengah dipercantik dengan beton. Tanah-tanah kosong itu sebelumnya adalah daerah yang menyerap air di sebagian kawasan Kelurahan Tamalanrea. Di atas tanah-tanah itu kini membentang jalan utama yang menghubungkan antara jalan Perintis Kemerdekaan dan Tol Ir.Sutami.

    Di sekitarnya, lahan seluas 120 ha akan dibangun perumahan mewah Tallasa City. Lengkap dengan pusat perbelanjaan dan office park. Tanggal 7 Maret 2018, Abdi, seorang legislator DPRD Makassar mempertanyakan dokumen amdal proyek tersebut. Menurutnya, penanggung jawab proyek menyedot air di empang dan membuangnya ke muara sungai, sehingga saat hujan air sungai lebih cepat meluap.

    Tanah di depan STMIK DIPANEGARA – 2km dari kontrakan perempuan itu-- juga digunakan oleh pemerintah untuk membangun jalan yang menghubungkan Jl.Perintis dengan Antang. Seorang pengamat tata ruang mengatakan pembangunan ini menyebabkan daerah resapan air di wilayah Tamalanrea semakin berkurang, sehingga debit air saat banjir semakin meningkat.

    Perempuan itu mulai berpikir bahwa tempatnya akan menjadi langganan banjir setiap tahun. Suaminya mulai berada dalam posisi dilematis. Ia hanya bisa mengeluh: “Melo ifenre pondasinna bolae, bola isewami. To melo lette’ takkalla furani isewai seppulo taung” (“Pondasi rumah  mau dinaikkan, tapi ini rumah kontrakan. Ingin pindah, terlanjur sudah kita sewa 10 tahun”).*


    *A. Achmad Fauzi Rafsanjani, aktif di Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan (LISAN) Cabang Makassar


  • You might also like