Saat film Joker
(2019) yang diperankan oleh Joaquin Phoenix ditayangkan, isu kesehatan mental
marak dibicarakan. Beberapa orang bahkan merasa tertekan atau sesak melihat
Joker dalam film tersebut. Melalui medium film, orang-orang dengan mudah bisa
menikmati situasi dan kondisi yang terjadi pada diri seorang Joker.
Keseharian hidup
Joker menawarkan kita kondisi psikologis yang berat dan rumit. Pergulatan batin
Joker sendiri dan tawa khas yang dimiliki cukup membuat para penoton ikut
merasakan sesak bahkan tertekan menyaksikannya.
Joker tertawa
namun pada saat bersamaan, kita merasakan hal yang tidak berkaitan dengan
kegembiraan. Demikianlah Joker membawa para penonton memasuki alam kelam dari
jiwa seseorang manusia.
Mempelajari
manusia adalah jalan panjang yang berliku. Bahkan kita lebih berpeluang
merasakan sebentuk kegagalan dibanding keberhasilan memecahkan teka-teki
seorang manusia.
Seperti halnya
karakter Joker, Ozamu Dazai, seorang penulis ternama asal Jepang menghadirkan
kisah yang serupa. Tentu saja dengan latar budaya dan kondisi sosial yang jauh
berbeda. Akan tetapi, masing-masing berusaha menyentuh sisi terdalam dari jiwa
seorang manusia.
Dalam noveletnya Ningen
Shikkaku, yang baru-baru ini diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia
oleh Penerbit Mai, kita bisa memasuki dimensi lain dari kisah seorang manusia.
Diterjemahkan dengan judul “Gagal Menjadi Manusia” sekilas menggambarkan
suara tokoh utama dalam novelet ini.
Sebagai sastra
klasik asal Jepang, karya ini mampu bertahan dan tetap penting dibaca sampai
sekarang. Bahkan, ini jauh lebih gelap dibandingkan suasana yang dihadirkan
oleh film Joker. Hal tersebut tidak lain karena keutuhan cerita yang mampu
menggambarkan sisi terdalam dari kesadaran seorang manusia.
Seperti halnya
Joker, tokoh utama dalam Gagal Menjadi Manusia menggunakan topeng yang berusaha
memperlihatkan dirinya baik-baik saja. Akan tetapi, dalam relung terdalam
jiwanya, ada kecamuk yang sulit terjelaskan. Isu kesehatan mental akan sangat
penting untuk mengkaji lebih lanjut masalah ini.
Novelet ini akan
mengenalkan kita pada diri Oba Yozo, yang kemungkinan adalah penggambaran diri
dari penulis itu sendiri. Digambarkan sebagai sosok yang menutup diri namun
berusaha untuk diterima dengan cara menjadi pelawak. Membiarkan orang-orang
menertawakan tingkah atau lelucon yang sengaja dia buat sebagai pertahanan
diri.
Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, kita seakan masuk lebih dalam di alam pikir seorang Yozo. Dalam novelet ini, Ozamu Dazai membaginya dalam tiga bagian besar. Pada bagian pertama, kita akan memahami masa kecil tokoh dengan perlakuan yang dia alami.
Hidup dalam keluarga mapan tak membuat hidup seseorang terjamin
aman. Seperti halnya yang dialami Yozo, dia mengalami pelecehan yang dilakukan
oleh para pembantunya. Kejadian itu membuat Yozo memilih diam, sebab dia sadar
jika mengadu atau mengatakan yang sebenarnya akan sia-sia.
Dia merasa tidak
akan diperhatikan dan semua ucapannya mungkin saja disepelekan. Di bagian ini,
Ozamu Dazai memperlihatkan kecenderungan manusia yang lebih berpotensi untuk
menjadi buruk. Pengamatan seperti inilah yang kemudian membawa kisah dalam
cerita ini semakin kuat.
Pada bagian kedua,
kita mulai beranjak menuju masa perkembangan dari Yozo di sekolah hingga
jenjang perkuliahan. Digambarkan beberapa orang teman yang memberinya pengaruh,
hingga terjerumus dalam lingkaran minum-minum, merokok, hingga prostitusi.
Di bagian ini
juga, ada bagian ketika Yozo memilih bunuh diri bersama seorang wanita dengan
cara menenggelamkan diri. Celakanya, Yozo selamat dari percobaan itu tapi tidak
dengan wanita yang menemaninya.
Di bagian ketiga,
terbagi lagi dalam dua bagian kecil. Di bagian ketiga inilah puncak dari rasa
gagal yang digambarkan begitu rumit oleh Ozamu Dazai. Hubungan dengan wanita,
hingga istri dan kehidupan rumah tangganya yang penuh beban psikologis.
Namun, kesadaran
Ozamu Dazai dalam memandang manusia dalam noveletnya ini tampak seperti cermin
yang akan abadi. Ada sebentuk paradoks ketika kita beranggapan jika Yozo gagal
menjadi manusia, sebaliknya, dia memahami dengan lebih akan kondisi jiwa
manusia. Kejahatan serta sejumlah keburukan manusia seperti tombak yang tak
henti-henti menusuk alam pikiran Yozo atau sebut saja Ozamu Dazai.
Kepekaan penulis
dalam memahami situasi pada masanya membuat novelet ini akan terus bertahan.
Terlebih lagi ini bisa mencerminkan kehidupan kita yang kian hampa dan dipenuhi
dengan hal-hal yang sulit dimengerti.
Sekiranya, novelet ini menjadi pernyataan tegas dari penulis akan kegagalannya dalam menjadi manusia yang diharapkan. Meskipun, harapan-harapan tersebut tidak sepenuhnya harus menjadi standar yang dipertahankan tiap orang. Kesadaran Osamu Dazai dalam memandang manusia yang merasa gagal sebenarnya merupakan paradoks.
Meski
merasa gagal, tapi sebenarnya Yozo adalah sosok yang benar-benar memahami
kondisi psikologi manusia di sekitarnya. Dia berhasil menjadi manusia. Tapi
tentu saja, dunia di luar diri kita kerap menghancurkan keberhasilan itu.
Seperti Joker atau tokoh Yozo dalam karya Osamu Dazai, kita akan sering diperhadapkan dengan perasaan gagal. Namun dalam kebimbangan itu juga, secara tidak langsung kita bertemu dengan diri kita yang sebenarnya.
Menjadi manusia akan membawa kita
pada petualangan panjang yang berliku. Barangkali itulah alasan Eka Kurniawan,
membuka salah satu novelnya dengan mengatakan, “Enggak gampang jadi
manusia”